KOMPAS.com - Setiap 13 Oktober, masyarakat dunia memperingati No Bra Day atau Hari Tanpa Bra.
Namun, beberapa orang keliru memaknainya sekadar sebagai ajang “bebas bra” atau pamer payudara.
Padahal gerakan ini sejatinya mengusung pesan penting yang meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kanker payudara.
Baca juga: Mengenal No Bra Day, Gerakan Kewaspadaan Kanker Payudara
Terlebih, risiko terhadap kanker payudara tidak hanya dihadapi oleh perempuan, namun juga laki-laki.
Peringatan ini berlangsung di tengah Breast Cancer Awareness Month atau Bulan Peduli Kanker Payudara.
Di berbagai platform media sosial, tagar #NoBraDay ramai digunakan untuk menggaungkan kampanye tersebut.
Baca juga: No Bra Day 13 Oktober, Apa Itu BH dan Bagaimana Sejarahnya?
Gerakan No Bra Day pertama kali dicetuskan oleh Dr Mitchell Brown, seorang dokter bedah plastik asal Kanada.
Ia memperkenalkan kampanye Breast Reconstruction Awareness (BRA) Day sebagai upaya edukasi tentang pentingnya operasi dan rekonstruksi payudara bagi pasien kanker.
Kampanye ini dimulai di Toronto pada 2011 dengan menggunakan tagar #NoBraDay.
Awalnya, peringatan dilakukan setiap 9 Juli, tetapi sejak 2011 dipindahkan ke 13 Oktober agar bertepatan dengan bulan kesadaran kanker payudara.
Melalui BRA Day, perempuan diajak memahami proses rekonstruksi payudara setelah mastektomi dan membangun kembali kepercayaan diri pasca pengobatan.
Acara yang digelar kala itu mempertemukan pasien, penyintas, serta perempuan berisiko tinggi dengan dokter bedah rekonstruksi untuk berbagi pengalaman.
Meski sering diramaikan dengan unggahan foto tanpa bra di media sosial, makna sebenarnya dari No Bra Day bukanlah untuk pamer tubuh.
Tujuan utamanya adalah mengingatkan perempuan agar lebih mengenali kondisi tubuhnya sendiri.
Gerakan ini mendorong wanita sesekali menanggalkan bra, supaya lebih peka terhadap perubahan bentuk, tekstur, atau kondisi pada payudara yang bisa menjadi tanda awal kanker.