KOMPAS.com - Tingkat literasi Indonesia masih tergolong memprihatinkan. Saat negara-negara lain mulai mengeluarkan kebijakan untuk mendorong minat baca, Indonesia justru masih tertinggal.
Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara berdasarkan tingkat literasi menurut Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2019.
Selain itu, data UNESCO menunjukkan hanya 0,001 persen masyarakat Indonesia yang memiliki minat baca. Artinya, dari setiap 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang gemar dan aktif membaca.
Baca juga: Mengurai Akar Krisis Literasi dari Sekolah Menengah
Di tengah krisis ini, visi menuju Indonesia Emas 2045 berpotensi terhambat. Terlebih, di era teknologi, dimana digitalisasi dan gadget mendominasi kehidupan. Generasi muda pun dituntut untuk meningkatkan literasi digital dan literasi dasar secara paralel.
Sayangnya, belum ada kebijakan khusus atau fasilitas memadai yang benar-benar mendorong peningkatan literasi dasar generasi muda.
Hal ini juga disoroti oleh penulis sekaligus Writer of the Year 2024, J.S. Khairen. Khairen mengungkapkan hal ini pada sebuah video bertajuk “J.S. Khairen, Writer of The Year 2024, dan Protesnya sebagai Penulis”.
“Kalau ada yang bilang minat baca di Indonesia rendah, itu tidak benar. Yang rendah adalah akses kebacaannya. Akses kebacaan itu lewat regulasi, lewat kebijakan, lewat pajak,” ujarnya di video unggahan KOMPAS.com, dikutip Kamis (14/8/2025).
Baca juga: Lewat Jagat Literasi, Kompas.com Donasikan Buku dan Nyalakan Asa ke Pelosok Negeri
Khairen sempat membagikan pandangannya melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, @js_khairen. Dalam unggahan tersebut, ia menjelaskan kebijakan literasi yang berlaku di Malaysia.
Berdasarkan penuturannya, setiap pelajar mulai dari jenjang SD hingga perguruan tinggi mendapatkan uang saku khusus untuk membeli buku.
“Bahkan guru-gurunya pun dapat. Sampai-sampai penerbit saya di Malaysia bolak-balik datang ke Jakarta memborong novel saya demi program ini,” tulis Khairen dalam keterangan unggahannya.
Dalam video wawancara bersama KOMPAS.com, Khairen juga membeberkan besaran dana yang diterima pelajar Malaysia dari program tersebut, yakni kisaran RM 100 hingga RM 250 (Rp 382.445 – Rp 956.112) di seluruh wilayah negeri jiran itu.
Baca juga: PJJ Tahap Pertama Dimulai, Diikuti 93 Siswa WNI SMA di Malaysia
“Di Indonesia juga dikasih duit beli buku, tapi yang beli bukunya gurunya, yang nentuin perpustakaannya. Buku yang dibeli bukan buku yang diinginkan anak-anak, dan ketika masuk perpustakaan, buku-buku itu akhirnya tidak dibaca,” ujarnya.
Membandingkan dengan kebijakan di negara tetangga, Khairen mengajak pemerintah untuk melakukan pembenahan kebijakan literasi di Indonesia.
Menurutnya, seperti di Malaysia, pelajar seharusnya diberikan kemandirian untuk memilih buku yang ingin dibaca, sekaligus memperoleh tunjangan khusus untuk mengakses buku.
Seiring dengan program makan siang gratis, Khairen berharap juga akan ada program pemberian buku gratis, sebagaimana yang telah diterapkan di Malaysia.