DAMASKUS, KOMPAS.com - Perang saudara di Suriah telah mengguncang Amerika Serikat (AS). Kekacauan itu terjadi beberapa bulan sebelum Presiden terpilih AS Donald Trump dilantik menjadi Presiden AS yang baru.
Kembalinya Trump itu bisa menjadi peluang dari upayanya untuk membentuk kembali Timur Tengah, meskipun dengan banyak tanda tanya.
Diketahui, serangan kilat oleh pemberontak yang merebut kota terbesar kedua di Suriah, Aleppo, terjadi setelah sekutu AS, Israel, berupaya melemahkan dua pendukung utama orang kuat Suriah Bashar al-Assad (Presiden Suriah).
Baca juga: Hizbullah Tak Berniat Kirim Pasukannya ke Suriah, Ini Alasannya
Yakni Iran dan milisi Syiah Lebanon yang berafiliasi dengannya, Hizbullah. Sedangkan Rusia, pendukung Assad lainnya, masih fokus pada invasinya ke Ukraina.
Di wilayah yang terus berubah sejak perang di Gaza, posisi AS terhadap Suriah, yang diutarakan kembali oleh pemerintahan Presiden Joe Biden, tidak banyak berubah selama satu dekade.
Meskipun Assad telah kehilangan kredibilitasnya melalui kebrutalannya, Amerika Serikat tidak memprioritaskan untuk mengusirnya dan tidak mendukung para pemberontak, terkait perang di Suriah.
"Pemerintahan Biden tidak hanya mengesampingkan Suriah. Mereka mengangkatnya dari kompor," kata Andrew Tabler, penasihat senior Suriah selama pemerintahan Trump terakhir yang sekarang menjadi peneliti senior di The Washington Institute.
"Anda dapat mengangkat masalah dari kompor sesuka Anda, tetapi itu tidak berarti masalah itu tidak akan meledak," imbuh dia, dikutip dari AFP pada Selasa (3/12/2024).
Ia mengatakan bahwa kemunduran di medan perang akhirnya dapat memaksa Assad untuk melakukan solusi yang dinegosiasikan, yang telah lama ia tolak.
Baca juga: Pemimpin Oposisi Suriah: Gencatan Senjata Lebanon Buka Pintu Serangan Aleppo
"Saya pikir pemerintahan yang akan datang dengan lebih banyak perhatian pada Suriah dan konflik seperti itu akan lebih mampu mengelolanya. Kita belum tahu seperti apa bentuknya," tuturnya.
Presiden Barack Obama ketika menjabat, menolak tekanan untuk menyerang Assad dan menolak untuk merangkul para pemberontak.
Obama memutuskan untuk memilih opsi lain yaitu bersekutu dengan para pejuang Kurdi untuk tujuan sempit AS, yakni mengalahkan kelompok ekstremis ISIS. Sekitar 900 tentara AS masih berada di Suriah.
Trump dalam masa jabatan pertamanya, dengan pendekatan impulsif yang menjadi ciri khasnya memerintahkan penarikan pasukan AS atas desakan Turkiye, yang mendukung para pejuang Islam dan menyamakan pasukan Kurdi Suriah dengan militan domestik.
Ia kemudian menarik kembali keputusannya setelah seruan internasional yang dipimpin oleh Perancis.
Salah satu calon Trump yang paling kontroversial, calon kepala intelijen Tulsi Gabbard, telah membuat heboh dengan pernyataan-pernyataan masa lalunya yang bersimpati kepada Assad.