Ia mengatakan bahwa keterbatasan alat menjadi salah satu penyebabnya. Namun, faktor yang paling memperlambat proses evakuasi adalah suhu dingin ekstrem.
Situasi saat itu juga diperparah dengan adanya hujan dan longsoran batu yang bisa saja mengenai tim penyelamat.
“Karena kita tidur, batu di mana-mana jatuh. Kalau tidak tahu, apalagi kalau hujan malam, ya selesai kita, pasti diserang hipotermia,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Yarman Wasur membantah tuduhan bahwa proses evakuasi Juliana berjalan dengan lambat.
Ia mengatakan bahwa TNGR telah mengerahkan sekitar 50 orang penyelamat sejak Selasa, meski mengakui bahwa topografi dan cuaca ekstrem membuat Juliana tak bisa segera diselamatkan.
Senada dengan pernyataan tersebut, Basarnas juga menyebut faktor cuaca, suhu, dan lokasi yang ekstrem sebagai kendala proses evakuasi.
Pemerintah Kota Niteroi di Brasil, yang merupakan kampung halaman Juliana, telah menyatakan belasungkawa dan menanggung biaya pemulangan jenazah ke Brasil.
Selain itu, mereka juga akan memberi penghormatan dengan menamai sebuah gardu pandang di kota itu dengan nama Juliana Marins.
Pihak Kementerian Luar Negeri Indonesia sendiri sebelumnya telah menyatakan akan mendampingi kasus ini sejak awal.
Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat juga sempat menyatakan bahwa jenazah Juliana telah diotopsi atas permintaan keluarga untuk mengetahui secara pasti penyebab kematian. Otopsi akan kembali dilakukan di Brasil atas permintaan keluarga.
Baca juga: Cerita Pendaki Irlandia Hampir Tewas di Rinjani, Nyaris Bernasib seperti Juliana Marins
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini