Meski tarif ke AS telah diturunkan, kekhawatiran para pekerja garmen di Kamboja belum mereda.
"Saya mohon AS untuk menurunkan tarif demi para pekerja di Kamboja. Jika mereka mengenakan tarif tinggi, para pekerjalah yang akan menderita," kata Im Sothearin (38), pekerja pabrik pakaian dalam di Phnom Penh, kepada AFP.
Im, ibu tiga anak dengan penghasilan sekitar 300 dollar AS (Rp 4,8 juta) per bulan, mengkhawatirkan dampak langsung terhadap kesejahteraan keluarganya.
"Pabrik-pabrik mungkin akan ditutup atau para pekerja akan mengalami penurunan upah, atau dipaksa bekerja lebih cepat," ujar Im.
Hal senada diungkapkan Yi Mom (47), pekerja senior di industri garmen yang telah berkarier selama 20 tahun.
Baca juga: Soal Tarif Trump, Kemlu Bicara Peluang Indonesia Bangun Pabrik di AS
Yi khawatir tarif tinggi akan memengaruhi pabrik-pabrik dan mengakibatkan berkurangnya lapangan pekerjaan.
"Kalau begitu, upah kami akan rendah dan kami tidak akan mampu menghidupi keluarga kami," papar Yi.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Perdagangan Kamboja Penn Sovicheat sebelumnya menyebut ancaman tarif dari AS sebagai kebijakan yang tidak masuk akal.
Dengan waktu negosiasi yang kini diperpanjang hingga awal Agustus, pemerintah Kamboja berharap dapat melanjutkan dialog dengan Washington.
Kamboja masih berharap masih dapat menurunkan tarif lebih lanjut dan meredakan ketidakpastian yang menghantui industri garmen mereka.
Baca juga: Kena Tarif 32 Persen dari Trump, RI Kirim Menko Airlangga untuk Lobi ke AS
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini