Penulis: Jessie Lau/BBC News Indonesia
KOMPAS.com - Pemutar kaset menyentuh gulungan pita, lalu bagian magnetnya terangkat dan memutarnya. Awalnya, yang terdengar hanya desisan kecil, kemudian suara para leluhur memenuhi ruangan.
Cerita pengantar tidur yang didapatkan Maya Sekine terasa istimewa. Dipilih oleh ayahnya, kisah-kisah penuh warna itu didengarnya melalui berbagai kaset lama yang menampilkan cerita rakyat dalam bahasa Ainu, bahasa yang digunakan para leluhurnya.
Orang-orang Ainu tinggal di kepulauan di wilayah yang sekarang disebut Jepang, sejak abad ke-12. Mereka mendiami daerah tanah itu sebelum Jepang datang menjajah mereka.
Baca juga: Pemerintah Jepang Resmi Akui Minoritas Ainu sebagai Suku Asli
Sewaktu kecil, cerita favorit Maya adalah tentang serigala Hokkaido yang bernyanyi. Kisah itu disampaikan dengan melodi, chorus yang berayun-ayun antara frasa Ainu yang dinyanyikan dan vokalisasi gonggongan.
Namun saat duduk di bangku sekolah, tidak ada satupun teman Maya yang mengerti bahasa Ainu. Meskipun ibu dan kakek-neneknya tahu beberapa frasa dalam bahasa tersebut, mereka sebagian besar berbicara bahasa Jepang.
Orang dewasa lainnya di sekitar Maya sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Ainu. Perlahan dia menyadari, bahasa dan budaya keluarganya tengah menuju kematian.
Sekarang hanya segelintir penutur asli Ainu yang tersisa. Bahasa ini ada di dalam daftar UNESCO dengan predikat "sangat terancam punah".
Merujuk sejumlah arsip, pada tahun 1870, satu tahun setelah Ezo atau Ezochi (sekarang disebut Hokkaido) dinyatakan sebagai bagian dari Jepang, masih terdapat sekitar 15.000 orang berbicara dalam ragam bahasa Ainu lokal. Mayoritas dari mereka tidak berbicara dalam bahasa lain.
Namun berbagai kebijakan pemerintah Jepang, termasuk pelarangan bahasa Ainu di sekolah, hampir memusnahkan bahasa dan budaya tersebut. Pada 1917, jumlah penutur bahasa ini tersisa hanya 350 orang, dan angka itu terus menurun drastis sampai saat ini.
Belakangan, Ainu meniti kebangkitannya. Pada 2019, pemerintah Jepang secara resmi mengakui Ainu sebagai penduduk asli negara tersebut. Mereka mengesahkan berbagai regulasi untuk mendorong inklusi dan visibilitas Ainu di tengah masyarakat Jepang.
Baca juga: Sentuhan Budaya Ainu, Suku Asli Hokkaido Ada di Resor Jepang Ini
Berbagai proyek bertujuan melestarikan dan merevitalisasi bahasa Ainu juga tengah berlangsung, satu di antaranya menggunakan akal imitasi (AI). Ainu menatap harapannya untuk terus bertahan bersama generasi mendatang.
Maya Sekine lahir dan besar di Nibutani, Hokkaido—tempat sekitar 80% penduduknya dilaporkan memiliki garis keturunan Ainu. Namun pengetahuan tentang bahasa Ainu di wilayah tersebut masih langka.
"Saya rasa keluarga saya unik," kata Maya.
"Dari pihak ibu, saya adalah Ainu dan keluarganya terkenal dengan kerajinan tangan mereka. Ayah saya (orang Jepang] juga seorang guru bahasa Ainu," ujar Maya, yang kini berusia 20-an tahun dan aktif sebagai pembuat video di YouTube.
"Saya tahu saya istimewa dan beruntung," tambahnya.
Meskipun banyak ciri khas Ainu telah hilang seiring waktu, pengetahuan asli masyarakat ini tetap bertahan, termasuk lebih dari 80 cara berbeda untuk mendeskripsikan beruang, menurut ayah Maya, Kenji Sekine.
Bahasa Ainu mencerminkan hubungan masyarakat dengan alam dan penghormatan mereka terhadap makhluk hidup lainnya.
Baca juga: 8 Budaya Jepang Paling Terkenal di Dunia
"Dalam cara berpikir Ainu, segala sesuatu selain manusia adalah kamuy (dewa atau dewa spiritual). Beberapa hewan sering disebut kamuy, seperti kimunkamuy (beruang) dan horkewkamuy (serigala)," ujar Kenji.
Meskipun Ainu diakui sebagai bahasa nasional kedua, bahasa ini tidak termasuk dalam kurikulum sekolah di Hokkaido.
"Siswa tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari budaya dan bahasa Ainu," kata Hirofumi Kato, arkeolog sekaligus Direktur Stasiun Global untuk Studi Masyarakat Adat dan Keragaman Budaya di Universitas Hokkaido.
"Hanya ada satu gambaran stereotip tentang budaya dan sejarah Jepang. Sistem pendidikan memperkuat perspektif monokultural ini," papar Hirofumi.
Penghapusan sejarah ini menyulitkan masyarakat Ainu untuk terhubung dengan akar mereka atau menavigasi identitas mereka dalam masyarakat Jepang modern.
Meskipun minat baru terhadap budaya Ainu telah mendorong lebih banyak representasi orang Ainu di media arus utama, misalnya dalam manga, selama ini terjadi berbagai kasus apropriasi budaya.
Semasa kecil, Maya merasa terbebani oleh tekanan melestarikan budaya Ainu. Dia pernah menyembunyikan identitas leluhurnya ketika pindah untuk sekolah menengah.
Baca juga: Cegah Penipuan, Kota di Jepang Larang Lansia Pakai ATM Sambil Telepon
Baru setelah masuk universitas, Maya percaya diri untuk merangkul identitas aslinya dan secara aktif mempromosikan budaya Ainu.
Kini, Maya menjadi bagian dari generasi muda yang berusaha mendefinisikan ulang arti menjadi orang-orang berdarah Ainu.
"Bahasa adalah hal terpenting bagi kami. Bahasa adalah hubungan antara budaya dan nilai-nilai kami," kata Maya.
"Keluarga juga. Kami memiliki keluarga besar; kami berkumpul setiap malam dan makan malam. Ini adalah nilai-nilai Ainu," sambungnya.
Meskipun saat ini hanya ada sedikit penutur bahasa Ainu, terdapat banyak sekali kisah lisan yang tersimpan. Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti memanfaatkan arsip audio untuk menghidupkan kembali bahasa Ainu.