“Jika ada hal-hal yang perlu disampaikan secara publik, hal itu harus disampaikan dengan bahasa yang terukur dan pantas, sesuai dengan para pemimpin nasional,” demikian isi surat tersebut.
Eli Feldman, rabi di Sinagoge Newtown, Sydney, menilai retorika politik yang keras berisiko memperburuk keamanan komunitas Yahudi.
"Ketika suhu wacana politik di media begitu terfokus pada kritik terhadap Israel, akan ada konsekuensi bagi komunitas Yahudi lokal, dan itu adalah sesuatu yang perlu kita renungkan," katanya.
Baca juga: Sisa Kota Kuno Berusia 2.000 Tahun Ditemukan di Laut Lepas Alexandria
Australia sendiri telah menghadapi lonjakan serangan antisemit sejak awal perang, termasuk vandalisme terhadap sinagoge dan gedung komunitas Yahudi.
Australia sejatinya merupakan pendukung awal berdirinya negara Israel dan selama ini konsisten menyuarakan solusi dua negara.
Namun, menurut Jessica Genauer, akademisi Universitas Flinders, pragmatisme politik Albanese membuatnya enggan mengakui Palestina secara resmi hingga gelombang simpati publik semakin kuat.
“Albanese pada dasarnya tetaplah orang yang pragmatis dan berhati-hati,” ujar Genauer.
Ia menambahkan, kemenangan besar Albanese pada pemilu Mei 2025 memberi ruang politik lebih longgar untuk mengambil keputusan itu. Dukungan dari sekutu utama seperti Inggris, Perancis, dan Kanada yang lebih dulu menyatakan sikap juga mempermudah langkah Canberra.
Baca juga: Kenapa Crimea Jadi Rebutan Rusia-Ukraina?
“Mereka tidak ingin memimpin dalam mengukir jalur baru, tetapi juga tidak ingin tertinggal dari sekutu-sekutu utama di seluruh dunia,” kata Genauer.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini