Penulis: David Hutt/DW Indonesia
MOROWALI, KOMPAS.com - Mulai dari pabrik pengolahan nikel di Indonesia hingga tambang logam tanah jarang di Myanmar, ekspansi perusahaan China dianggap berisiko menimbulkan dampak jangka panjang bagi lingkungan serta masyarakat lokal, menurut para pemerhati lingkungan.
Fenomena ini sebagian dipicu aturan ketat dan kelebihan kapasitas industri di China, daya tarik tenaga kerja murah, lemahnya penegakan hukum lingkungan, dan melimpahnya sumber daya di negara-negara tetangga.
Meski tercatat sebagai penyandang dana terbesar energi bersih di Asia Tenggara, banyak analis menilai investasi hijau China sering kali tersamarkan oleh keterlibatan mereka di sektor yang paling merusak lingkungan.
Baca juga: Tambang Tembaga Bawah Tanah Terbesar di Dunia Runtuh, Penyelamat Berpacu Waktu
Situasi tersebut kini jadi lebih kompleks. Modal China bisa membantu membangun ladang energi surya dan bendungan tenaga air, tapi sekaligus memicu konflik lingkungan, risiko kesehatan, dan ketegangan politik yang makin meningkat.
Hal ini juga menimbulkan pertanyaan: apakah pemerintah Asia Tenggara benar-benar serius melindungi lingkungan seperti yang mereka klaim?
“Faktanya, sebagian besar pemerintah lebih mementingkan pembangunan ekonomi daripada keberlanjutan lingkungan. Itu sama persis seperti yang dulu dilakukan pemerintah China,” kata Zachary Abuza, profesor di National War College, Washington DC, kepada DW.
Sejak akhir tahun lalu, muncul gelombang protes dan mogok kerja di sejumlah pabrik pengolahan nikel milik China di Indonesia.
Pada Juli lalu, pemerintah mengumumkan akan memberi sanksi kepada perusahaan yang melanggar aturan lingkungan di kawasan industri nikel Morowali, Sulawesi, yang dikelola raksasa logam China, Tsingshan Holding Group.
Sebelumnya, pada Februari, lembaga riset keamanan C4ADS menemukan bahwa lebih dari tiga perempat kapasitas pemurnian nikel Indonesia dikuasai perusahaan China, banyak di antaranya terkait dengan pemerintah di Beijing.
Dua perusahaan China, termasuk Tsingshan, sudah menguasai lebih dari 70 persen kapasitas pemurnian nasional.
“Minimnya kendali domestik membuat Indonesia bergantung pada investasi China, yang bisa membatasi kemampuan pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban industri,” tulis laporan tersebut.
Di Myanmar, perusahaan China juga dituduh mencemari Sungai Mekong akibat ekspansi tambang logam tanah jarang di wilayah konflik.
Komunitas di Laos dan Thailand belakangan melaporkan lonjakan arsenik dan logam beracun lain di sungai.