BANGKOK, KOMPAS.com - Thailand kerap dipandang sebagai negara demokratis. Monarki konstitusional ini secara rutin menggelar pemilihan umum yang kompetitif, dengan tingkat partisipasi pemilih tinggi serta keterlibatan aktif generasi muda dalam politik.
Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Menurut para analis, kekuasaan di Thailand masih sangat bergantung pada lembaga yang tidak dipilih secara demokratis, seperti militer, lembaga peradilan, dan keluarga kerajaan yang berpengaruh.
Sejak berakhirnya monarki absolut pada 1932, Thailand telah mengalami lebih dari belasan kudeta. Pertarungan antara gerakan reformasi demokrasi dan kekuatan konservatif yang berakar kuat menimbulkan siklus ketidakstabilan politik selama beberapa dekade.
Baca juga: Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya bagi Thailand Usai PM Paetongtarn Shinawatra Dicopot?
Keluarga Shinawatra menjadi salah satu pihak yang paling merasakan dinamika ini. Selama 20 tahun terakhir, nama keluarga tersebut selalu berada di pusaran momen dramatis politik Thailand.
Terbaru, pada Jumat (29/8/2025), Paetongtarn Shinawatra resmi dicopot dari jabatan perdana menteri setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang memutuskan nasibnya.
Mahkamah Konstitusi dinilai sering menjatuhkan putusan yang sejalan dengan kepentingan penguasa. Hal ini tidak lepas dari identitas dan komposisi lembaga tersebut.
“Pengadilan dipandang kaum konservatif sebagai pelopor moral yang melindungi pilar-pilar institusi Thailand dari apa yang mereka anggap sebagai ekses demokrasi,” ujar Napon Jatusripitak, peneliti tamu di Program Studi Thailand, ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura.
Menurutnya, legitimasi pengadilan justru dibangun atas dasar identitas itu, bukan pada supremasi hukum. Sebagian besar hakim, lanjut Napon, diangkat atau diperpanjang masa jabatannya pada era pemerintahan militer yang konservatif.
“Ini berarti kecenderungan pengadilan untuk berpihak pada kepentingan penguasa sudah tertanam dalam DNA-nya,” kata Napon, dikutip dari Bangkok Post.
Baca juga: Skandal Telepon PM Paetongtarn Shinawatra: Koalisi Thailand Nyaris Runtuh
Sejak 2008, empat perdana menteri (PM) Thailand digulingkan oleh Mahkamah Konstitusi, dan seluruhnya terkait dengan keluarga Shinawatra atau partai politik mereka.
Samak Sundaravej dicopot pada 2008 setelah pengadilan menyatakan ia melanggar konstitusi karena tetap menjadi pembawa acara memasak di televisi.
Beberapa bulan kemudian, penggantinya, Somchai Wongsawat, juga digulingkan setelah pengadilan membubarkan partai politiknya atas tuduhan kecurangan pemilu.
Pada 2014, Yingluck Shinawatra, saudara perempuan Thaksin, dicopot karena dianggap menyalahgunakan kekuasaan terkait pemindahan pejabat Dewan Keamanan Nasional. Putusan ini muncul hanya beberapa saat sebelum kudeta militer menggulingkan pemerintahannya.
Tahun lalu, giliran Srettha Thavisin yang dicopot karena dinilai melanggar aturan etika setelah menunjuk seorang mantan narapidana penghinaan pengadilan sebagai menteri kabinet.
Baca juga: Kekerasan Sektarian di Suriah Tewaskan Hampir 2.000 Orang
Mahkamah Konstitusi juga berulang kali membubarkan partai politik populer. Sejak 1997, sebanyak 111 partai telah dibubarkan, sebagian besar partai pro-demokrasi.
Partai Thai Rak Thai yang didirikan Thaksin dibubarkan pada 2007, disusul Partai Kekuatan Rakyat setahun setelahnya dengan tuduhan kecurangan pemilu.
Pada 2019, Partai Thai Raksa Chart dibubarkan karena mencalonkan seorang putri kerajaan sebagai perdana menteri, yang dianggap bertentangan dengan monarki konstitusional.
Setahun kemudian, Partai Masa Depan Maju yang meraih kejutan besar pada Pemilu 2019, juga dibubarkan. Para eksekutifnya dilarang berpolitik selama 10 tahun akibat tuduhan menerima pinjaman ilegal dari pemimpinnya.
Baca juga: Politisi Meksiko Baku Hantam di Senat, Dipicu Perdebatan Intervensi Militer AS
Tahun lalu, Partai Maju Maju yang menjadi penerus Partai Masa Depan Maju sekaligus pemenang Pemilu 2023, kembali dibubarkan. Kampanyenya untuk mengubah undang-undang lese majeste dianggap sebagai upaya menggulingkan monarki konstitusional.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini