KOMPAS.com - Meski sering dianggap serupa, Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta (Keraton Solo) sebenarnya memiliki sejarah dan karakter yang berbeda.
Kedua keraton ini sama-sama merupakan warisan Kerajaan Mataram Islam, yang terbagi menjadi dua wilayah kekuasaan setelah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Perjanjian itu menjadi titik penting dalam sejarah Jawa, karena menandai lahirnya dua pusat kebudayaan besar di Tanah Jawa: Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Asal-usul Dua Keraton: Warisan dari Perpecahan Mataram Islam
Sebelum terbelah, Mataram Islam merupakan kerajaan besar yang berpusat di Jawa Tengah.
Namun, konflik internal dan tekanan politik dari VOC Belanda membuat kekuasaan kerajaan ini melemah.
Melalui Perjanjian Giyanti, kerajaan kemudian dibagi dua.
Bagian pertama diberikan kepada Pangeran Mangkubumi, yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I, sebagai penguasa Keraton Yogyakarta.
Sementara itu, bagian kedua diserahkan kepada Pakubuwono III, yang memimpin Keraton Surakarta.
Dua hari setelah itu, pada 15 Februari 1755, ditandatangani Perjanjian Jatisari yang mempertegas identitas dan perbedaan adat antara kedua keraton tersebut, termasuk perbedaan dalam bahasa, tata busana, musik gamelan, hingga sistem adat istiadat.
Perbedaan Keraton Yogyakarta dan Surakarta
Berikut ini perbedaan Keraton Yogyakarta dan Surakarta:
1. Gelar dan Kepemimpinan
Kedua keraton memiliki sistem kepemimpinan sendiri.
Keraton Yogyakarta dipimpin oleh raja bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono, sementara Keraton Surakarta dipimpin oleh Sunan Pakubuwono.
Sultan Hamengkubuwono I mulai memimpin Yogyakarta sejak berdirinya keraton pada 1755. Kini, kekuasaan diteruskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang juga menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sementara di Surakarta, Sunan Pakubuwono II adalah pendiri Keraton Surakarta pada 1744 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang hancur akibat Geger Pecinan.
Kini, tahta Kasunanan dipegang oleh Sunan Pakubuwono XIII sebagai penerus tradisi kesunanan di Solo.
2. Tradisi dan Adat Istiadat
Perbedaan mencolok antara kedua keraton terletak pada sistem budaya dan adat.
Berdasarkan Perjanjian Jatisari, Keraton Yogyakarta memilih mempertahankan tradisi asli Mataram Islam, sedangkan Keraton Surakarta melakukan modifikasi dan inovasi budaya baru tanpa meninggalkan akar Jawa.
Tradisi di Yogyakarta umumnya bersifat lebih klasik dan konservatif, menjaga tata upacara seperti Grebeg Maulud, Sekaten, dan Labuhan Parangkusumo dengan struktur lama.
Sedangkan Keraton Surakarta lebih terbuka pada adaptasi budaya, termasuk gaya tarian, tata busana, dan bentuk upacara adat.
Contohnya, Tari Bedhaya Ketawang di Surakarta berkembang menjadi bentuk yang lebih ritualistik dan eksklusif, sementara tari klasik di Yogyakarta lebih menonjolkan filosofi spiritual dan nilai moral.
3. Pakaian Adat dan Filosofinya
Pakaian adat juga menjadi pembeda utama antara dua keraton ini, terutama pada blangkon, penutup kepala khas pria Jawa.
Blangkon Yogyakarta memiliki mondolan atau tonjolan di bagian belakang.
Filosofinya adalah kemampuan masyarakat Jawa untuk menyimpan rahasia dan mengendalikan diri, baik terhadap aib sendiri maupun orang lain.
Motif batik yang sering digunakan untuk blangkon Yogyakarta antara lain modang, sido wirasat, jumputan, dan taruntum.
Sebaliknya, blangkon Surakarta tidak memiliki mondolan, bagian belakangnya datar dengan simpul kain diikat ke dalam.
Bentuk ini melambangkan kesatuan niat dan pikiran yang lurus serta menggambarkan keimanan dalam dua kalimat syahadat.
Motif batik yang digunakan biasanya keprabon, kesatrian, dan tempen, yang menonjolkan kewibawaan dan ketegasan.
4. Gamelan: Musik yang Memiliki Jiwa Berbeda
Perbedaan lain dapat ditemukan pada gamelan, alat musik tradisional yang menjadi bagian penting budaya keraton.
Gamelan Yogyakarta berukuran lebih besar dan suaranya terdengar kuat, mencerminkan karakter Yogyakarta yang gagah dan tegas.
Sementara itu, gamelan Surakarta berukir lebih halus dengan nada lembut dan ritme lebih tenang, menggambarkan sifat elegan dan lembut khas budaya Solo.
Dari sisi bentuk, ornamen gamelan Surakarta lebih rumit dan artistik dibandingkan gamelan Yogyakarta yang lebih sederhana tapi berwibawa.
5. Arsitektur dan Tata Bangunan
Keduanya memiliki kompleks bangunan yang luas dan sarat makna simbolik.
Keraton Yogyakarta, yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I pada 1755, menampilkan gaya arsitektur Jawa tradisional yang kental dengan filosofi spiritual.
Setiap halaman dan bangunan diatur berdasarkan konsep kosmologi Jawa, dari Alun-Alun Utara hingga Alun-Alun Selatan, melambangkan perjalanan hidup manusia dari lahir hingga akhir.
Sementara itu, Keraton Surakarta yang dibangun oleh Sunan Pakubuwono II memiliki arsitektur perpaduan Jawa dan Eropa.
Bangunannya banyak didominasi warna putih dan biru, dengan elemen seperti Menara Sanggabuwana yang konon menjadi tempat simbolik pertemuan raja dengan Ratu Laut Selatan.
6. Fungsi dan Peran Saat Ini
Kedua keraton masih aktif hingga kini dan berfungsi sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Keraton Yogyakarta sekaligus menjadi tempat tinggal keluarga Sultan dan simbol pemerintahan daerah istimewa, sedangkan Keraton Surakarta tetap menjadi pusat spiritual dan budaya Kesunanan.
Keduanya juga terbuka bagi wisatawan.
Keraton Yogyakarta menawarkan tur sejarah dan museum, sedangkan Keraton Surakarta mengadakan pertunjukan budaya seperti kirab, tarian sakral, hingga upacara Malam Satu Suro.
Warisan Budaya yang Sama, Identitas yang Berbeda
Meskipun lahir dari akar sejarah yang sama, Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta berkembang menjadi dua pusat budaya dengan karakter berbeda.
Yogyakarta mempertahankan tradisi klasik Mataram Islam, sedangkan Surakarta melahirkan inovasi budaya yang memperkaya identitas Jawa.
Keduanya tetap menjadi penjaga warisan sejarah dan kebijaksanaan lokal Jawa, yang hingga kini masih hidup di tengah masyarakat modern.
Sebagian artikel ini telah tayang di KOMPAS.com dengan judul "Keraton Surakarta: Sejarah Berdirinya, Fungsi, dan Kompleks Bangunan" dan "Sejarah Keraton Yogyakarta".
https://www.kompas.com/jawa-tengah/read/2025/10/14/214101788/apa-bedanya-keraton-yogyakarta-dan-surakarta-ini-sejarah-dan-ciri