YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Paguyuban Sanglen Berdaulat tolak mediasi dengan Panitikismo Keraton Yogyakarta terkait dengan polemik pemanfaatan kawasan Pantai Sanglen, Kemadang, Tanjungsari, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Perwakilan Paguyuban Sanglen Berdaulat Rahmat menjelaskan kronologis penolakan mediasi berawal dari tanggal 24 Juni 2025 Paguyuban Sanglen Berdaulat mendapatkan Surat bernomor 035/KWPK/VI/2025 dari Kawedanan Panitikismo.
Tertulis perihal dalam surat adalah “Mediasi Permasalahan Pemanfaatan Kawasan Pantai Sanglen, Kemadang, Tanjungsari, Gunungkidul”.
Baca juga: Temukan Pematokan Liar, Keraton Yogyakarta Segera Tata Pantai Sanglen Gunungkidul
Menurut dia surat tersebut merupakan undangan yang ditujukan kepada Paguyuban untuk menghadiri agenda pada keesokan harinya, yaitu pada hari Rabu, 25 Juni 2025.
"Surat dengan embel-embel mediasi yang dilayangkan oleh Panitikismo tersebut menandakan tidak adanya itikad baik dari Keraton karena dua hal," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (30/6/2025).
Dua hal tersebut menurut Rahmat adalah pertama surat undangan yang bersifat dadakan bahkan tidak lebih dari 24 Jam dari hari akan diadakannya undangan.
"Padahal di dalam surat undangan tertera pembuatan surat dilakukan pada 19 Juni 2025. Kedua, surat tersebut hanya dibatasi untuk paguyuban, yaitu 5 orang," ujarnya.
Sementara peserta lain yang dicantumkan aparat kepolisian, Satpol PP, pemerintah desa yang sudah berpihak terhadap investor, pejabat kepolisian, perangkat panitikismo, tim hukum kasultanan, dan perusahaan PT. Biru Bianti yang hendak membangun Obelix di Pantai Sanglen.
Rahmat menilai kedua hal itu dinilai sebagai bentuk menghilangkan partisipasi masyarakat yang tergabung dalam paguyuban.
"Mediasi yang seharusnya digunakan untuk mendengarkan aspirasi warga dan mencari jalan bersama, justru digunakan sebagai alat legitimasi untuk memberikan karpet merah pada PT Biru Bianti Indonesia," jelasnya.
Selain permasalahan waktu dadakan dan komposisi, Paguyuban menilai pihaknya kehilangan hak untuk mendapat pendampingan.
"Paguyuban semakin merasa tidak wajar karena tidak adanya organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum yang diperbolehkan melakukan pendampingan yang seharusnya dilibatkan dalam proses mediasi," ucapnya.
Menurut dia, tidak adanya pendampingan dalam proses mediasi menunjukkan bahwa pengirim surat tidak menghormati proses-proses advokasi yang telah dilakukan paguyuban, salah satunya adalah hak warga menggunakan kuasa hukum.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan membaca situasi demikian, maka Paguyuban Sanglen Berdaulat memutuskan untuk tidak menghadiri agenda mediasi tersebut dengan menyampaikan surat balasan yang memuat;
Pertama undangan yang dikirim secara mendadak yaitu kurang dari 24 jam sebelum jadwal mediasi dilaksanakan. Padahal, surat tersebut tercatat tertanggal 19 Juni 2025. Paguyuban menilai adanya itikad tidak baik dalam proses mediasi yang dilakukan secara dadakan.