JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat sagu dan singkong (cassava) merupakan bahan baku paling murah untuk produksi bioetanol atau etanol, dibandingkan dengan jagung.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, menjelaskan sagu menempati posisi teratas dari sisi keekonomian bahan baku etanol saat ini.
Setelah sagu, bahan baku termurah berikutnya adalah singkong, sementara jagung tergolong paling mahal.
“Kalau dari nilai bahan bakunya, ya itu memang sagu itu yang paling murah untuk bahan baku menjadi etanol. Untuk saat ini sagu memang. Kedua itu cassava, kalau yang corn yang jagung itu memang sudah agak mahal,” ujar Putu saat ditemui di gedung Kemenperin, Jakarta Selatan, Rabu (29/10/2025).
Baca juga: Kemenperin Bantah Produksi Gula RI Stagnan, Klaim Bisa Capai Swasembada
Pemerintah masih membuka berbagai opsi bahan baku untuk etanol. Beragam alternatif akan dikaji untuk menentukan bahan mana yang paling efektif dan efisien.
“Ya sehingga nanti opsinya itu dibuka, mana yang paling bagus, nah itu yang didorong,” paparnya.
Potensi bahan baku etanol juga datang dari sektor gula dan kelapa sawit.
Putu menuturkan, program swasembada gula akan meningkatkan produksi molases yang dapat diolah menjadi biofuel, termasuk bioetanol.
“Nah tebu juga, ini kan di swasembada gula, itu molasses-nya akan meningkat hasilnya, sehingga ini juga akan sangat potensial untuk masuk ke biofuel,” bebernya.
Baca juga: Zulhas Sebut Singkong hingga Tebu Bakal Jadi Primadona Baru di 2026, Ini Sebabnya
Selain itu, pemerintah juga tengah mengembangkan pemanfaatan biomassa dari tandan kosong kelapa sawit.
Melalui proses fraksinasi atau pemisahan komponen, tandan kosong tersebut dapat diolah menjadi berbagai produk turunan seperti bioetanol dan hemiselulosa.
“Biomassa dari tandan kosong kelapa sawit itu sedang kita fraksionasi, dipilah-pilah, dan hasilnya bisa jadi bioetanol, bisa hemiselulosa. Jadi banyak bahan-bahan yang bisa dihasilkan,” lanjut Putu.