
DUNIA tengah berada dalam arus perubahan besar. Krisis geopolitik, ancaman iklim, disrupsi teknologi dan rantai pasok global, serta fragmentasi sosial-politik membuat tatanan global semakin rentan.
Perang di Ukraina memasuki tahun ketiga. Belum ada tanda-tanda akan berakhir dengan damai.
Tragedi kemanusiaan dan genosida di Gaza disaksikan jutaan mata melalui media, tanpa daya untuk menghentikannya.
Rivalitas Amerika Serikat versus China terus membelah peta geopolitik global. Konflik regional yang selama ini hanya terjadi di Eropa Timur dan Timur Tengah, kini merambah ke kawasan Asia Tenggara.
Sementara itu, Dewan Keamanan PBB seolah tak berdaya, tak punya daya paksa untuk menghentikan perang karena dimandulkan oleh hak veto yang dimiliki negara kuat.
Perang tidak hanya menebar duka kemanusiaan. Ia juga mengancam ketahanan energi dan pangan, serta memperparah ketimpangan ekonomi antarnegara.
Baca juga: Dilema Kritik Moralitas
Di sisi lain, perubahan iklim dengan bencana alam ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan badai semakin sering terjadi, mengganggu stabilitas produksi dan distribusi global secara luas.
Di tengah situasi ini, diplomasi konvensional yang hanya menekankan kepentingan nasional jangka pendek dan logika kekuasaan (power politics) sering dipertanyakan.
Dunia seolah lelah menghadapi carut marut relasi politik global yang dikalkulasi secara cash and carry diplomacy, kerja sama antarbangsa yang transaksional berbasis untung-rugi semata.
Pertanyaan muncul: apakah hubungan antarbangsa hanya bisa dilakukan dengan cara transaksional berbasis kepentingan real-politics jangka pendek? Tentu tidak.
Pemikir hubungan internasional nyaris sependapat, menghadapi cara diplomasi yang dihela oleh kepentingan jangka pendek seperti itu, dunia membutuhkan paradigma baru dalam diplomasi; yaitu diplomasi yang menempatkan tanggung jawab global, moralitas, dan nilai-nilai etika sebagai landasan (moral and ethics platform) dalam hubungan antarnegara.
Dalam konteks visi ideal seperti itu, konsep metadiplomasi - yakni diplomasi yang tidak hanya digerakkan oleh kepentingan jangka pendek, tetapi juga oleh nilai kemanusiaan universal berbasis moral dan etika - perlu digagas dan dikembangkan sebagai alternatif strategis bagi diplomasi masa depan.
Dalam teori hubungan internasional, realisme masih menjadi pendekatan dominan. Ditekankan bahwa negara bertindak berdasarkan kepentingan nasional semata, yang sering dicapai dengan penggunaan kekuatan keras (hard power).
Joseph Nye mengkritisi pendekatan: “diplomasi yang hanya mengandalkan kekuatan keras tidak akan menyelesaikan persoalan global yang kompleks dan berlapis.”
Nye menyarankan perlunya smart power, kombinasi kekuatan keras dan lunak (soft power), untuk menciptakan stabilitas jangka panjang (Nye, The Future of Power, 2011).