SEMARANG, KOMPAS.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menilai kematian Iko Juliant Junior, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (UNNES) angkatan 2024, penuh dengan kejanggalan dan memerlukan penyelidikan yang serius.
Iko meninggal dunia setelah diduga menjadi korban kekerasan aparat dalam aksi unjuk rasa pada akhir Agustus 2025 di Semarang.
Direktur LBH Semarang, Ahmad Syamsuddin Arief, menyatakan bahwa terdapat sejumlah indikasi yang menguatkan dugaan bahwa Iko bukanlah korban kecelakaan biasa.
Baca juga: Ombudsman Desak Polisi Transparan Usut Kematian Mahasiswa Unnes Iko Junior
“Asumsinya yang mengantar ke rumah sakit itu adalah Brimob. Apalagi ada juga bekas-bekas luka, termasuk ketika pasca korban ini dioperasi mengigau untuk tidak dipukuli. Itu makin menguatkan bahwa dia bagian dari massa aksi yang mendapatkan represivitas aparat,” ujar Arief saat dikonfirmasi pada Kamis (4/9/2025).
LBH Semarang menyampaikan duka cita kepada keluarga Iko serta solidaritas kepada rekan-rekan mahasiswa.
Arief menegaskan, kasus ini harus diinvestigasi secara transparan, akuntabel, dan lugas.
LBH Semarang juga siap berkolaborasi dengan Tim Hukum FH UNNES untuk penanganan kasus ini.
“Kalau kemudian ini memang murni kesalahan kepolisian, pertama akui bahwa itu kesalahan. Kemudian ada tindakan tegas terhadap aparat yang melakukan kekerasan. Tuntutan yang paling utama adalah reformasi kepolisian,” tegasnya.
Lebih lanjut, Arief mengkritik pernyataan aparat yang terus berubah, yang justru menimbulkan kecurigaan publik.
Baca juga: Misteri Kematian Mahasiswa Unnes, Pengamat: Kalau Kecelakaan, Kok Korban di Tangan Polisi?
Awalnya, aparat menyebut kecelakaan terjadi di Jalan dr Cipto, namun kemudian mengubah lokasi kejadian menjadi Jalan Veteran.
“Awalnya bilang A, besoknya bilang B. Itu menunjukkan mereka tidak akuntabel dan tidak transparan. Ini sama dengan pengalaman sebelumnya, bagaimana ada framing terhadap massa aksi seolah-olah mereka perusuh,” ujarnya.
Menurut Arief, framing dan penyelewengan isu oleh polisi terhadap substansi tuntutan massa aksi menunjukkan ketakutan polisi terhadap suara masyarakat.
LBH Semarang juga menyoroti sikap pasif kepolisian yang menunggu aduan dari keluarga atau kampus.
Ia menilai langkah tersebut keliru, mengingat kasus ini menyangkut dugaan kekerasan yang berujung pada kematian.
Baca juga: Bahas Kejanggalan Kematian Iko, Mahasiswa dan Alumni Unnes Diikuti Sekelompok Orang Misterius
“Harusnya ini bukan delik aduan. Ada hukum progresif ketika terjadi seperti ini seharusnya polisi lebih progresif melakukan pemeriksaan lebih lanjut, menggali kronologi, dan olah TKP. Bukan pasif,” lanjutnya.