KOMPAS.com - Cibiran terkait kondisi ekonomi Indonesia saat ini disampaikan oleh perwakilan mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Agus Setiawan di Ruang Abdul Muis, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (3/9/2025).
Dalam pertemuan bersama dengan pimpinan DPR, Agus mempertanyakan kenaikan tunjangan DPR di tengah kondisi ekonomi yang sedang sulit.
“Di tengah masyarakat rentan menderita, di-PHK, ekonomi lesu, daya beli masyarakat menurun, kok bisa ada wakil rakyat yang justru kabarnya tunjangannya dinaikkan. Dan ketika ada kabar tersebut terjadi simbolisasi joget-joget dan kemudian membuat hati kami sedih, Bapak-bapak sekalian,” kata Agus, dikutip dari Kompas.com, Rabu (3/9/2025).
Padahal, selama ini pemerintah terus menggaungkan efisiensi anggaran yang hasilnya disebut akan diinvestasikan ke Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
BP Danantara adalah badan pengelola investasi yang dibentuk untuk mengelola aset serta investasi negara secara profesional. Lembaga tersebut menargetkan akan membangun 15 megaproyek pada tahun ini.
Lantas, masih perlukah negara melakukan efisiensi jika pemerintah bisa menaikkan tunjangan DPR?
Baca juga: Dampak Ekonomi yang Mengintai jika Pemerintah Berlakukan Darurat Militer
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menjelaskan Pemerintah Indonesia sebenarnya bisa menjalankan pemerintahan tanpa perlu melakukan efisiensi anggaran.
Meski tidak dipungkiri langkah tersebut bisa dilakukan jika pemerintah jeli dalam memilih program untuk direalisasikan.
"Ekonomi bisa bertahan tanpa efisiensi anggaran dengan prasyarat pemerintah bisa renegosiasi utang dengan kreditur, tahan nafsu. Jalankan program populis, seperti makan bergizi gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih, serta tunda pembangunan IKN," kata Bhima, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/9/2025).
Selain itu, Celios juga melihat adanya saving dari sisi belanja perpajakan sebesar Rp 137,4 triliun.
Menurut Bhima, selama ini insentif fiskal pemerintah kurang tepat sasaran dan tidak berkorelasi langsung dengan upaya menurunkan kemiskinan dan pengangguran di usia muda.
Di sisi lain, terjadi miss-alokasi anggaran yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun dan perekonomian menjadi lesu.
"Ekonomi lesu karena efek kebijakan efisiensi anggaran, kepercayaan belanja kelompok menengah atas rendah, sementara yang menengah ke bawah tidak mendapat bantuan memadai dari pemerintah," kata Bhima.
Pakar ekonomi itu menyampaikan, seharusnya pemerintah menggunakan anggaran untuk menstimulasi daya beli, meringankan beban pajak masyarakat, dan menciptakan lapangan kerja formal.
Tapi sebaliknya, pemerintah justru mengalokasikan anggaran tersebut untuk menaikkan tunjangan DPR pada 2026.