BANDUNG, KOMPAS.com - Ada yang berbeda dalam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Jawa Barat.
Untuk pertama kalinya, naskah kuno Sang Hyang Siksa Kandang Karesian dibacakan dalam rangkaian acara resmi.
Sebelumnya, pada momen tersebut hanya dibacakan sejarah tentang pembentukan Provinsi Jawa Barat dari zaman perang hingga kemerdekaan.
Lantas, apa sebenarnya Sang Hyang Siksa Kandang Karesian hingga masuk dalam agenda peringatan penting bagi Provinsi Jawa Barat?
Baca juga: Kritik Pembangunan Abaikan Nilai Sejarah Sunda, Dedi Mulyadi: Betapa Kita Gagap, Lalai
Menurut Filolog Anggi Endrawan, naskah ini bukan sekadar catatan sejarah Sunda, tetapi memuat aturan atau tuntutan hidup dan sistem pemberian pada masa kerajaan Sunda.
"Ini memiliki arti mendalam, Sang Hyang berarti suci, Siksa berarti ajaran, dan Kandang Karesian berarti aturan dengan batasan-batasannya," ujarnya saat ditemui di Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Kota Bandung, Selasa (19/8/2025).
Anggi menuturkan, membuka kembali isi naskah kuno bukanlah hal yang mudah.
Hanya seorang filolog yang memiliki kapasitas karena membutuhkan proses yang cukup panjang.
"Ada penelusuran naskah, kemudian transliterasi dari aksara Sunda ke aksara Latin. Setelah itu diterjemahkan ke bahasa Sunda atau Indonesia modern, ditransliterasi dan diterjemahkan, barulah masuk pada kajian teks," katanya.
Baca juga: Dedi Mulyadi Kecewa Kirab HUT Jabar Terganggu Arak-arakan Setda: Mohon Ngerti Seni, Stop!
Ia menambahkan bahwa ada tahapan krusial tentang kajian teks naskah teras, pasalnya terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang bisa digali kembali untuk diterapkan dalam kehidupan saat ini.
"Prosesi Pak Dedi Mulyadi sekarang itu berada di wilayah kajian teks, mencari nilai kebermanfaatan yang termuat dalam naskah kuno itu sendiri," katanya.
Anggi menerangkan, naskah kuno ini ditemukan di situs Kabuyutan Ciburuy, Kabupaten Garut.
Akan tetapi, ada klaim yang menyebut bahwa naskah tersebut berkaitan dengan Sumedang.
"Sumedang baru satu kali pencarian saja sudah menemukan lebih dari 100 naskah, totalnya 190. Jadi, memang Sumedang itu penghasil karya intelektual sejak zaman kerajaan. Bisa dibilang menghasilkan buku, tetapi di masa kerajaan," ucap Anggi.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini