KOMPAS.com - Sebuah perjanjian multinasional untuk melindungi sebagian besar samudra di dunia akan mulai berlaku sebagai hukum pada Januari 2026.
Para aktivis lingkungan menyambut baik pemberlakuan perjanjian tersebut, menyebutnya sebagai langkah yang sangat penting untuk melindungi ekosistem laut.
Dengan bergabungnya Maroko dan Sierra Leone, perjanjian PBB tentang laut lepas kini telah mencapai ambang batas minimal 60 ratifikasi, menjadikannya sah sebagai hukum internasional.
Hingga pertengahan September, 143 negara telah bergabung dengan perjanjian ini dan para pegiat konservasi laut mendesak agar lebih banyak negara meratifikasi.
Perjanjian tersebut bertujuan untuk melindungi area-area dengan keanekaragaman hayati tinggi di perairan global yang berada di luar zona ekonomi eksklusif setiap negara.
Melansir Phys, Sabtu (20/9/2025) para pegiat konservasi mengatakan bahwa lautan, yang dipenuhi dengan kehidupan tumbuhan dan hewan, bertanggung jawab untuk menciptakan separuh dari pasokan oksigen di dunia dan sangat penting untuk melawan perubahan iklim.
Baca juga: Perubahan Iklim, Makluk Laut yang Tak Kasat Mata Pun Terancam
Namun, perairan tersebut juga terancam oleh polusi dan penangkapan ikan yang berlebihan.
Lautan juga menghadapi tantangan yang berkembang dari penambangan laut dalam, di mana industri yang baru muncul ini menggali dasar laut yang sebelumnya belum tersentuh untuk komoditas seperti nikel, kobalt, dan tembaga.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres menyampaikan perjanjian tersebut menetapkan aturan yang mengikat untuk melestarikan dan menggunakan keanekaragaman hayati laut secara berkelanjutan.
Perjanjian tersebut bertujuan untuk melindungi perairan internasional yang mencakup sekitar 60 persen dari seluruh lautan. Pasalnya, hingga saat ini, hanya satu persen dari perairan laut lepas yang memiliki perlindungan hukum semacam itu.
Para pemerhati lingkungan juga mengatakan ekosistem laut di laut lepas harus dilindungi karena merupakan sumber oksigen dan membatasi pemanasan global dengan menyerap sebagian besar karbon dioksida yang dipancarkan oleh aktivitas manusia.
Lebih lanjut, setelah perjanjian ini disahkan menjadi undang-undang, badan pengambil keputusan harus bekerja sama dengan beragam organisasi regional dan global yang telah mengawasi berbagai aspek kelautan misalnya soal pertambangan laut dalam.
Belum ada izin yang dikeluarkan untuk pertambangan komersial di perairan laut lepas, tetapi beberapa negara telah memulai atau sedang bersiap untuk memulai eksplorasi di perairan dalam zona ekonomi eksklusif mereka sendiri.
Baca juga: Kerusakan Laut Akibat Manusia Diproyeksikan Berlipat Ganda pada 2050
Perjanjian tersebut juga menetapkan prinsip-prinsip untuk berbagi manfaat dari sumber daya genetik laut yang dikumpulkan di perairan internasional. Poin ini merupakan salah satu isu yang sulit disepakati dalam negosiasi yang panjang.
Negara-negara berkembang, yang sering kali kekurangan dana untuk ekspedisi penelitian, telah berjuang untuk mendapatkan hak pembagian manfaat.
Mereka berharap tidak tertinggal dalam apa yang banyak pihak lihat sebagai pasar masa depan yang sangat besar untuk sumber daya genetik yang sangat diminati oleh perusahaan farmasi dan kosmetik.
"Sangat penting bagi kita untuk bergerak menuju ratifikasi global atau universal agar perjanjian ini bisa seefektif mungkin," kata Rebecca Hubbard, yang memimpin koalisi High Seas Alliance.
Ia juga mendesak negara-negara kepulauan kecil, negara-negara berkembang, dan bahkan negara-negara yang tidak memiliki garis pantai untuk ikut bergabung.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya