KOMPAS.com - Studi yang diterbitkan dalam jurnal PLOS Climate oleh Kamiar Mohaddes dan Mehdi Raissi dari climaTRACES Lab di Universitas Cambridge mengungkapkan hampir seperempat dari PDB per kapita global bisa hilang pada tahun 2100 jika perubahan iklim terus memburuk tanpa terkendali.
Perubahan iklim secara luas dikaitkan dengan penurunan aktivitas ekonomi.
Namun, karena adanya perbedaan metodologi dalam pemodelan iklim, perkiraan mengenai alasan dan sejauh mana penurunan itu terjadi sangat bervariasi.
Dalam studi ini, seperti dikutip dari Phys, Rabu (24/9/2025), Mohaddes dan Raissi meneliti dampak kenaikan suhu yang terus-menerus di atas normal dari tahun 2015–2100 terhadap kerugian PDB per kapita tahunan di 174 negara.
Baca juga: Potensi Ekonomi Sirkular Tuna Rp 10 Triliun, Buka Banyak Lapangan Kerja
Para peneliti menggunakan proyeksi suhu masa depan dari Panel Internasional tentang Perubahan Iklim, yang memperhitungkan laju kenaikan suhu, tingkat variabilitas iklim, serta upaya mitigasi dan adaptasi yang berbeda.
Mereka kemudian membandingkan proyeksi masa depan ini dengan dua skenario dasar yakni skenario di mana kenaikan suhu mirip dengan tahun 1960–2014 dan skenario ideal di mana tidak ada kenaikan suhu lebih lanjut.
Para peneliti menemukan bahwa jika suhu terus meningkat sebesar 0,04 derajat C per tahun dengan sedikit upaya mitigasi atau adaptasi, PDB per kapita global bisa turun sebesar 10–11 persen pada tahun 2100.
Dalam skenario emisi paling ekstrem, para peneliti memproyeksikan kerugian pendapatan per kapita sebesar 20–24 persen dibandingkan dengan skenario "tanpa pemanasan lebih lanjut".
Para peneliti juga mencatat adanya variasi antar negara, di mana negara-negara yang lebih panas dan berpenghasilan rendah mungkin akan menghadapi kerugian ekonomi 30–60 persen lebih tinggi dari rata-rata global.
Meskipun protokol adaptasi tidak bisa sepenuhnya menghilangkan dampak perubahan iklim, Mohaddes dan Raissi mengakui pengaruhnya dalam mengurangi dampak tersebut.
Lebih lanjut, mereka menemukan bahwa mematuhi tujuan Perjanjian Paris 2015 yaitu membatasi kenaikan suhu menjadi 0,01 derajat C per tahun menghasilkan keuntungan pendapatan global sekitar 0,25 persen dibandingkan dengan skenario pertama di mana kenaikan suhu meniru tren tahun 1960–2014.
Baca juga: Badan PBB Ingatkan Perubahan Iklim Bakal Terus Picu Banjir dan Badai
Studi di masa depan mungkin dapat mengarahkan pada strategi adaptasi dan mitigasi yang lebih spesifik untuk setiap negara.
Peneliti menambahkan sebelumnya, kurang dari satu dekade, sebagian besar ekonom akan berpendapat bahwa perubahan iklim adalah sesuatu yang hanya perlu dikhawatirkan oleh negara-negara yang lebih panas dan berada di belahan selatan.
Namun penelitian ini telah menantang asumsi tersebut. Studi menunjukkan bahwa perubahan iklim menurunkan pendapatan di semua negara, baik yang panas maupun dingin, kaya maupun miskin.
Perubahan iklim juga akan berdampak pada industri yang beragam, mulai dari transportasi, manufaktur, dan ritel, bukan hanya pertanian dan sektor lain yang biasa dikaitkan dengan alam.
"Tidak ada negara yang kebal dari dampak perubahan iklim jika emisi gas rumah kaca tidak dikurangi. Tindakan segera diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim dan melindungi perekonomian dari kerugian pendapatan lebih lanjut," simpul para peneliti.
Baca juga: Transisi Energi Inkonsisten, Komitmen Iklim Indonesia Dipertanyakan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya