SELAMA puluhan tahun, kebutuhan energi Indonesia bertumpu pada bahan bakar fosil, namun produksi minyak domestik terus merosot sementara konsumsi BBM meningkat tajam. Akibatnya, Indonesia mengimpor lebih dari separuh kebutuhan BBM nasional, membuat pasokan energi sangat rentan terhadap gejolak harga minyak dunia. Ketergantungan ini tidak hanya membebani neraca perdagangan, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi kedaulatan energi nasional.
Sementara itu, di sisi pangan, kondisi tak kalah mengkhawatirkan. Banjir, kekeringan, dan anomali cuaca yang semakin sering, seperti dampak El NiƱo 2023, telah menurunkan produktivitas pertanian secara drastis. Harga pun melonjak, dan langkah darurat impor beberapa kebutuhan pangan ditempuh. Situasi ini diperburuk oleh alih fungsi lahan serta degradasi tanah pertanian. Ketergantungan terhadap komoditas pangan luar negeri membuat ekonomi kita sangat rentan terhadap krisis pasokan global.
Indonesia tengah menghadapi tantangan ganda di era perubahan iklim, krisis energi fosil dan kerawanan pangan. Namun di tengah tekanan tersebut, terselip peluang besar untuk berbenah dan bangkit. Krisis energi dan pangan ini bisa diatasi secara bersamaan melalui pendekatan baru yang berbasis sumber daya hayati lokal.
Pengembangan bioenergi dan biopangan menawarkan jalan keluar yang strategis dan berkelanjutan. Dengan memanfaatkan kekayaan alam seperti sawit, tebu, singkong, sorgum, hingga mikroalga, Indonesia memiliki potensi besar untuk memproduksi energi terbarukan dan memperkuat ketahanan pangan sekaligus.
Pergeseran ini menuntut paradigma baru dalam kebijakan, mulai dari perencanaan lahan, insentif petani, riset teknologi, hingga pembangunan industri berbasis bio. Jika dikelola dengan baik, transisi menuju bioekonomi ini tidak hanya menjawab ancaman jangka pendek, tetapi juga menjadi landasan kuat bagi masa depan Indonesia yang berdaulat, adil, dan berkelanjutan.
Baca juga: Dibanding Sumber Terbarukan Lainnya, Bioenergi Paling Mahal
Bioenergi merupakan energi terbarukan yang bersumber dari bahan hayati seperti tanaman, limbah pertanian, dan mikroorganisme. Dengan posisi geografis dan kekayaan hayati tropis, Indonesia menyimpan potensi biomassa yang sangat besar. Komoditas seperti kelapa sawit, tebu, singkong, jagung, hingga mikroalga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku energi.
Selama ini, program biodiesel berbasis minyak sawit (mandatori B40) sudah berjalan cukup baik dalam mengurangi ketergantungan impor solar. Pemerintah bahkan optimistis Indonesia tak lagi perlu mengimpor solar pada 2026 jika campuran biodiesel ditingkatkan ke level B50.
Namun, bertumpu hanya pada satu komoditas seperti sawit menyimpan risiko tersendiri, baik dari sisi ekonomi, ekologi, maupun keberlanjutan. Karena itu, diversifikasi sumber bioenergi menjadi hal mutlak agar Indonesia benar-benar mampu membangun sistem energi mandiri yang tahan krisis.
Salah satu langkah strategis yang kini digalakkan adalah pengembangan bioetanol berbasis tebu dan singkong untuk campuran bensin (E10). Pemerintah menargetkan mandatori E10 diberlakukan paling lambat 2027, dengan kebutuhan tambahan bahan baku yang besar. Untuk itu, Indonesia memerlukan sekitar satu juta hektare lahan tebu baru. Tantangan ini tak ringan, namun justru membuka peluang besar bagi petani.
Permintaan etanol yang konsisten memberi insentif ekonomi agar petani kembali menanam tebu dan singkong. Petani singkong, misalnya, diproyeksikan bisa meraih pendapatan hingga Rp80 juta per hektare per tahun, angka yang jauh lebih baik dibanding kondisi saat ini.
Namun, agar program ini tidak mengorbankan sektor pangan, pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi dan pangan. Penggunaan molase sebagai bahan baku etanol, misalnya, menjadi pilihan ideal karena tidak bersaing langsung dengan pangan. Diversifikasi bahan baku dengan sorgum dan peningkatan produktivitas tanaman juga perlu dilakukan agar ketergantungan pada bahan baku tunggal dapat dihindari.
Di tengah tantangan itu, berbagai inovasi bioenergi generasi lanjut terus berkembang dan memberi harapan baru. Mikroalga, misalnya, disebut sebagai āladang minyak masa depanā karena produktivitasnya tinggi dan tidak memerlukan lahan subur. Bayangkan jika mikroalga dibudidayakan di lahan marginal atau perairan pesisir, menghasilkan minyak nabati berkualitas tanpa mengganggu ketahanan pangan.
Baca juga: Rektor IPB: Tak Hanya Sawit, Indonesia Punya Banyak Sumber Bioenergi
Dalam menghadapi ancaman krisis pangan global, Indonesia sesungguhnya memiliki modal besar berupa kekayaan hayati pangan lokal yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Ribuan varietas tanaman pangan tradisional tumbuh dan dikonsumsi secara turun-temurun oleh masyarakat setempat.
Sagu menjadi makanan pokok di Maluku dan Papua, sorgum tumbuh subur di wilayah kering seperti Nusa Tenggara, sementara umbi-umbian seperti singkong, talas, dan ubi jalar tersebar luas di berbagai daerah. Bahkan pohon-pohon pangan seperti sukun memiliki nilai gizi tinggi dan potensi produksi besar.
Konsep biopangan hadir membawa perspektif baru yang memandang ketahanan pangan tidak sekadar dari sisi produksi dan distribusi komoditas, tetapi juga dari keberagaman hayati, budaya konsumsi lokal, dan kemandirian komunitas.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya