JAKARTA, KOMPAS.com- Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Lukmanul Hakim, menyoroti dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta sebesar Rp 14,6 triliun yang masih mengendap di bank dan belum terserap untuk kegiatan produktif.
Menurut Lukman, dana sebesar itu seharusnya digunakan untuk mempercepat pembangunan dan menggerakkan ekonomi masyarakat.
“Sejak 2020 saya sudah berkali-kali mengingatkan, jangan terlalu asik menaruh uang daerah di deposito. Uang publik seharusnya mendorong pertumbuhan ekonomi, bukan tidur di bank," ujar Lukman dalam rapat pembahasan anggaran bersama di Ruang Rapat Komisi C DPRD DKI, Rabu (22/10/2025).
Lukman menilai kondisi tersebut mencerminkan lemahnya koordinasi di internal Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) serta kebijakan keuangan yang tidak berpihak pada kepentingan publik.
Ia bahkan mempertanyakan siapa pihak yang seharusnya menjadi “panglima” dalam mengoordinasikan pengelolaan keuangan daerah.
Baca juga: Purbaya Sebut Dana APBD DKI Rp 14,6 Triliun Mengendap, Pramono: Betul 1.000 Persen
"Terus terang, saya bingung siapa panglimanya TAPD ini. Seolah-olah jalan sendiri-sendiri, tidak ada yang mengkoordinasikan secara utuh," ujarnya.
Lukman juga meminta Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) untuk menjelaskan secara terbuka alasan penempatan dana tersebut di bank.
Ia mempertanyakan apakah langkah itu merupakan perintah langsung dari Gubernur DKI atau inisiatif internal BPKD.
"Sebagai Kepala BPKD, pejabat yang bersangkutan harus memastikan uang daerah bekerja untuk rakyat, bukan tidur dideposito. Di bank mana saja dana Rp 14,6 triliun itu ditempatkan? Dalam bentuk apa? Berapa bunganya dan ke mana dialokasikan hasil bunganya?," tanya Lukman.
Baca juga: Jakarta Terancam Kehabisan Lahan Pemakaman 3 Tahun Lagi
Selain menyoroti dana mengendap, Lukman menilai kebijakan keuangan daerah juga tidak konsisten.
Di satu sisi, pemerintah daerah menyimpan dana besar di bank, namun di sisi lain justru melakukan pinjaman senilai Rp 2,2 triliun.
“Ini ironis. Uang sendiri menganggur, tapi kita malah berutang. Bagaimana mekanismenya, berapa bunganya, dan proyek apa yang dibiayai?” ujarnya.
Ia juga mengkritik pengurangan subsidi pangan sebesar Rp 300 miliar dan pemotongan anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS sebesar Rp 558 miliar.
"Ini menyangkut hak dasar warga DKI. Mengapa bantuan untuk masyarakat justru dikurangi," ujarnya.
Baca juga: Pramono Sebut Dana Mengendap Rp14,6 Triliun DKI Bukan untuk Deposito
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung memastikan dana Rp 14,6 triliun yang tersimpan di bank bukan berbentuk deposito.