JAKARTA, KOMPAS.com – Harga Bitcoin (BTC) kembali merosot tajam lebih dari 1,7 persen dalam 24 jam terakhir ke posisi 108.200 dollar AS atau sekitar Rp 1,79 miliar (kurs Rp 16.500 per dollar AS) pada Jumat (31/10/2025). Penurunan ini terjadi di tengah koreksi pasar kripto yang mencapai sekitar 2,21 persen dalam sehari terakhir.
Tekanan di pasar aset digital itu dipicu oleh kombinasi faktor makroekonomi, teknikal, serta gelombang likuidasi besar-besaran di pasar derivatif kripto.
Kejatuhan Bitcoin terjadi setelah Ketua The Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, menyatakan bahwa pemangkasan suku bunga pada Desember “bukan hal yang pasti.” Pernyataan tersebut mengguncang pasar keuangan global dan memicu pelarian modal ke aset aman seperti emas dan dollar AS.
“Ketidakpastian arah suku bunga dan tensi politik di AS menekan minat terhadap aset berisiko, termasuk kripto,” ujar Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, melalui keterangannya, Jumat (31/10/2025).
“Saat dollar menguat dan investor mencari perlindungan di aset tradisional, Bitcoin kehilangan daya tarik jangka pendeknya.”
Dari sisi teknikal, Bitcoin menembus level support penting di kisaran 108.000 dollar AS, jatuh di bawah 200-day Exponential Moving Average (EMA) di 108.682 dollar AS, dan menembus level Fibonacci 23,6 persen retracement di 108.435 dollar AS. Kondisi ini memicu stop-loss dan aksi jual algoritmik yang memperparah tekanan harga.
“Breakdown di area ini menjadi sinyal bearish jangka pendek,” lanjut Fyqieh.
“Jika Bitcoin gagal menembus kembali di atas 108.000 dollar AS, potensi koreksi lanjutan ke kisaran 103.000–104.000 dollar AS bisa terjadi sebelum pasar menemukan keseimbangan baru.”
Data CoinGlass menunjukkan lebih dari 1,1 miliar dollar AS (sekitar Rp 18,15 triliun) posisi derivatif kripto dilikuidasi dalam 24 jam terakhir, termasuk 268 juta dollar AS (sekitar Rp 4,42 triliun) posisi long Bitcoin. Kenaikan open interest sebesar 4,7 persen juga menandakan meningkatnya tekanan jual dari posisi short baru.
Fenomena ini menunjukkan adanya pelepasan leverage besar-besaran oleh para trader spekulatif. Pendanaan negatif (funding rate) turut memperkuat sentimen bearish di pasar.
Meski situasi tampak suram, sejumlah analis menilai penurunan saat ini bisa menjadi “shakeout” terakhir sebelum momentum musiman Bitcoin menguat di November. Dalam 12 tahun terakhir, bulan November tercatat sebagai periode reli kripto, dengan rata-rata kenaikan sekitar 46 persen.
Fyqieh menilai peluang pemulihan masih terbuka.
“Jika The Fed mulai memberi sinyal pelonggaran likuiditas dan stabilisasi hubungan dagang AS–China berlanjut, Bitcoin berpotensi rebound menuju 115.000–120.000 dollar AS (sekitar Rp 1,89–Rp 1,98 miliar) dalam jangka menengah,” ujarnya.
Koreksi Bitcoin kali ini mencerminkan kombinasi tekanan makroekonomi, faktor teknikal, dan likuidasi derivatif yang mempercepat penurunan harga. Namun dengan potensi kebijakan moneter yang lebih longgar dan akumulasi dari investor institusional, peluang rebound menjelang akhir tahun masih terbuka.
https://money.kompas.com/read/2025/10/31/113000226/harga-bitcoin-btc-turun-1-7-persen-dalam-24-jam-imbas-sikap-hati-hati-the-fed