JAKARTA, KOMPAS.com - Fenomena Fear of Missing Out (FOMO), yaitu rasa takut tertinggal dari kesempatan atau tren, kini memasuki dunia investasi dengan cukup kuat.
Ketika banyak orang “ikut saja” karena melihat orang lain cuan, atau karena tren viral, maka risiko yang terselubung bisa jauh lebih besar dibandingkan potensi keuntungan yang terlihat.
Apa itu FOMO dalam konteks investasi?
FOMO dalam investasi berarti mengambil keputusan membeli atau menempatkan dana karena khawatir tertinggal kesempatan, bukan karena analisis yang matang terhadap instrumen investasi, profil risiko, dan rencana keuangan.
Mengutip pemberitaan Kompas.com pada 12 Mei 2025, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) telah menjadi salah satu faktor pendorong utama dalam pengambilan keputusan investasi yang impulsif, terutama di kalangan generasi muda.
Artinya, keputusan investasi yang dilandasi FOMO cenderung emosional, bukan berdasarkan analisis yang berkelanjutan.
Dampak negatif FOMO dalam investasi
Terdapat beberapa dampak nyata jika seorang investor bertindak karena FOMO.
1. Keputusan impulsif dan tidak rasional
Salah satu dampak utama FOMO adalah pengambilan keputusan investasi yang didorong oleh emosi, bukan analisis yang matang.
Membeli hanya karena “orang lain juga membeli”, tanpa melihat kondisi fundamental atau memahami instrumen, bisa membuat investor masuk di puncak harga.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara dalam artikel di Kompas.com pada 21 April 2025 mengatakan, fenomena FOMO pembelian emas bisa mengakibatkan lonjakan permintaan.
Pada akhirnya, hal ini membuat harga emas cenderung naik.
2. Kerugian finansial yang signifikan
Investasi yang dilakukan tanpa pertimbangan matang dapat mengakibatkan kerugian finansial yang besar.
Misalnya, membeli aset pada harga puncak karena FOMO dapat menyebabkan investor kehilangan sebagian besar modalnya saat pasar mengalami koreksi.
Contoh, dalam instrumen seperti kripto yang sangat fluktuatif, FOMO bisa memicu kerugian besar.
3. Risiko instrumen yang tidak dipahami
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa meminta anak-anak muda tidak asal ikutan atau FOMO dengan investasi keuangan.
"Jadi kalau mau berinvestasi ya, di instrumen apapun, pelajari instrumen itu apa. Jangan ikut-ikutan orang, jangan FOMO apa, fear of missing out," kata Purbaya di Kompleks Istana, Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Artinya, tanpa pemahaman yang memadai terhadap instrumen, seseorang yang bertindak karena FOMO bisa tertinggal, salah langkah, atau bahkan rugi.
4. Rendahnya literasi keuangan memperparah risiko
Dikutip dari Kontan (16/11/2024), Gen Z dan milenial masih memiliki literasi keuangan yang rendah.
Gen-Z perlu memperkuat literasi keuangan dan tidak FOMO. Ketika literasi rendah, tindakan “ikut saja” karena tren menjadi lebih mudah dan risikonya pun lebih besar.
Instrumen investasi seperti emas menjadi salah satu objek FOMO. Banyak masyarakat berduyun-duyun membeli emas hingga mengantre panjang karena takut tertinggal tren kenaikan harga.
"Kalau dibilang FOMO yah bisa jadi FOMO. Tapi ini FOMO yang positif,” ucap perencana keuangan Andy Nugroho.
Menurut Andy, tindakan FOMO membeli emas itu merupakan respons masyarakat atas gejolak perdagangan global yang berdampak pada Indonesia sehingga membuat nilai rupiah melemah dan harga emas melejit.
Selain itu, literasi keuangan generasi muda masih jadi pekerjaan rumah.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Frederica Widyasari Dewi pernah mengungkapkan bahwa kelompok usia 15-17 tahun memiliki tingkat literasi dan inklusi keuangan yang paling rendah.
Semua ini menunjukkan bahwa kondisi pasar Indonesia saat ini memang menghadirkan banyak godaan untuk “ikut tren cepat”, tetapi kondisi fundamental, literasi, dan kesiapan finansial belum tentu menyertainya.
Kenapa investor sebaiknya menghindari FOMO?
Berikut beberapa alasan kuat mengapa FOMO harus dihindari dalam investasi.
1. Tidak sesuai dengan tujuan keuangan jangka panjang
Investasi yang baik didasarkan atas tujuan, misalnya dana pensiun, pendidikan anak, pembelian rumah, dan profil risiko investor.
Jika investasi dilakukan hanya karena ikut tren, maka bisa jadi tidak selaras dengan tujuan finansial yang dimiliki.
2. Waktu masuk yang buruk dan risiko tinggi
Ketika seseorang membeli karena FOMO, waktunya bisa “terlambat", harga sudah naik pesat) atau instrumen yang dipilih punya volatilitas tinggi tanpa pemahaman.
Hasilnya, potensi kerugian bertambah.
3. Mengabaikan diversifikasi dan manajemen risiko
FOMO sering membuat investor menumpuk satu jenis aset karena “tren”, mengabaikan prinsip diversifikasi atau alokasi aset sesuai profil risiko.
Sebagai contoh, emas dianggap sebagai aset safe haven. Namun, mengalokasikan seluruh portofolio hanya pada logam mulia bukanlah strategi investasi yang bijak.
3. Memicu perilaku konsumtif atau spekulatif
Saat FOMO muncul, sering investor melihat investasi seperti “kesempatan cepat kaya” daripada langkah terencana.
Ini membawa risiko spekulasi tinggi dan arah ke gambling, bukan investasi jangka panjang.
4. Keterkaitan dengan literasi keuangan rendah
Ketika literasi rendah, jenis instrumen yang dipilih bisa salah, waktu masuk dan keluar bisa keliru, dan keputusan emosional karena tren bisa jadi malapetaka.
Bagaimana cara menghindari FOMO dan berinvestasi dengan bijak?
Untuk menjauh dari perangkap FOMO dan membangun investasi yang sehat, berikut beberapa langkah yang dapat diambil.
1. Tetapkan tujuan dan profil risiko terlebih dahulu
Mulailah dengan menjawab: Untuk apa saya berinvestasi? Kapan saya ingin mengambil dana ini?
Kemudian, seberapa besar risiko yang mampu saya terima? Tanpa jawaban ini, investasi bisa salah arah.
2. Pahami instrumen yang akan dipilih
Seperti yang diingatkan Menkeu Purbaya, Anda perlu mempelajari instrumen sebelum berinvestasi.
“Pelajari instrumennya apa. Jangan ikut-ikutan orang, jangan FOMO," ujar Purbaya.
Artinya, kenali jenis instrumen, risiko, likuiditas, biaya, dan potensi imbal hasilnya.
3. Gunakan strategi yang terencana, bukan ikut tren
Misalnya, Anda bisa menerapkan strategi dollar-cost averaging (DCA). Ini adalah berinvestasi secara berkala dalam jumlah tetap, sehingga Anda tidak perlu menebak timing market.
Ambil contoh, harga emas di pasar sangat fluktuatif dalam jangka pendek. Untuk menyiasatinya, Anda dapat menerapkan strategi DCA.
Contoh yang sama bisa diterapkan di instrumen investasi lain.
4. Diversifikasi portofolio
Jangan menaruh semua dana di satu instrumen atau karena ramai–pastikan alokasi sesuai dengan tujuan dan risiko Anda.
5. Bangun literasi keuangan dan disiplin
Semakin baik Anda memahami keuangan, profil risiko, instrumen investasi, pengaruh pasar, semakin tahan Anda dari godaan FOMO.
Kesimpulan
Investasi yang sehat bukan soal siapa tercepat atau paling “tren”, tetapi siapa yang paling terencana, paham, dan sabar. Fenomena FOMO memang menggoda, tren viral, rise cepat, cerita orang “cuan banyak."
Namun, di balik itu terdapat banyak perangkap: keputusan impulsif, instrumen yang tidak dipahami, risiko besar, dan potensi kerugian.
Untuk Anda sebagai investor, bangun tujuan, kenali instrumen, rancang strategi, dan disiplinlah.
Hindari FOMO. Karena investasi bukan ajang lomba tren, melainkan perjalanan jangka panjang menuju kesejahteraan finansial.
https://money.kompas.com/read/2025/11/02/160325726/kenapa-tidak-boleh-fomo-dalam-investasi