JAKARTA, KOMPAS.com – Tarif ekspor Indonesia ke Amerika Serikat yang saat ini dikenakan sebesar 32 persen dikhawatirkan membuat produk dalam negeri semakin kehilangan daya saing, terutama dibandingkan Vietnam yang telah lebih dulu mencapai kesepakatan tarif 20 persen dengan pemerintah AS.
Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Dimas Ardhinugraha, menyebut masih ada peluang untuk negosiasi ulang hingga tenggat 1 Agustus 2025. Namun, ketimpangan tarif ini sudah menempatkan Indonesia dalam posisi yang kurang menguntungkan di tengah persaingan dagang global.
“Dengan tarif 32 persen, Indonesia kalah unggul dibanding Vietnam. Padahal Vietnam sudah mendapatkan kesepakatan tarif 20 persen dengan AS. Ini berpotensi melemahkan daya saing ekspor kita, terutama di sektor garmen dan padat karya,” ujar Dimas dalam keterangan resmi, Kamis (10/7/2025).
Ia menambahkan, meski Indonesia masih lebih baik dibanding Bangladesh dan Kamboja yang masing-masing dikenai tarif 35 persen dan 36 persen, posisi ini tetap menyulitkan Indonesia untuk menjadi pemain utama ekspor ke pasar Amerika.
Baca juga: RI dan Vietnam Sepakati Kerja Sama Perdagangan Beras
Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Dimas Ardhinugraha.Ketua The Fed, Jerome Powell, sebelumnya menyatakan bahwa jika tidak mempertimbangkan dampak dari tarif, suku bunga acuan Fed Funds Rate seharusnya sudah bisa diturunkan. Namun karena efek inflasi dari tarif perdagangan masih sulit diproyeksikan, The Fed memilih berhati-hati.
“Di sisi lain, aktivitas konsumsi di AS menunjukkan sinyal pelemahan. Pada April, personal income naik 0,8 persen, tetapi personal spending hanya naik 0,2 persen. Jika tren ini berlanjut, bisa mengarah ke kondisi stagflasi,” kata Dimas.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Vietnam Nyaris 8 Persen pada Kuartal II 2025
Lesunya perekonomian tak hanya terjadi di luar negeri. Dalam negeri pun menunjukkan tanda-tanda yang tidak menggembirakan. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Mei turun ke level 117,5, merupakan yang terendah sejak 2022. Penjualan mobil hingga Mei hanya mencapai 317.000 unit, lebih rendah dari capaian tahun 2021 saat pandemi.
Kondisi ini juga tercermin pada sektor manufaktur. Indeks PMI manufaktur selama tiga bulan terakhir berada di zona kontraksi. Setelah sempat naik menjadi 47,4 di Mei, angka tersebut kembali turun ke 46,9 pada Juni.
“Rangkaian data ekonomi tiga bulan terakhir mengonfirmasi bahwa momentum pertumbuhan ekonomi cukup lemah. Tapi karena sudah diantisipasi pasar, dampaknya pada sentimen bisa terbatas jika data PDB kuartal kedua nanti stagnan,” ujar Dimas.
Baca juga: Keyakinan CEO terhadap Ekonomi Nasional Menurun, Tapi Belum Masuk Zona Pesimis