JAKARTA, KOMPAS.com - Emiten yang terafiliasi dengan pengusaha Christopher Sumasto Tjia, PT PAM Mineral Tbk (NICL), mencatat laba neto periode berjalan sebesar Rp 358,07 miliar pada semester I-2025.
Angka ini naik 386,51 persen secara tahunan dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 73,59 miliar.
Perolehan laba neto periode berjalan ini ditopang oleh penjualan pada paruh pertama 2025 senilai Rp 1,05 triliun, atau naik 152,07 persen secara tahunan dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai Rp 419,19 miliar.
Baca juga: Emiten Milik Benny Tjokro Resmi Ditendang BEI
Direktur Utama Perseroan Ruddy Tjanaka mengatakan, sejak akhir 2024, harga acuan nikel domestik mengalami penurunan sebesar 3,80 persen sejalan dengan tren global.
Di sisi lain, euforia pasar kendaraan listrik yang mulai normal serta meningkatnya permintaan baja stainless steel.
"Kami melihat bahwa penurunan harga nikel tersebut merupakan koreksi positif dan sudah diprediksi oleh perseroan," ujar dia dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (21/7/2025).
Ia menambahkan, perseroan sudah menyiapkan langkah antisipatif sejak awal tahun, tecermin dengan kinerja operasional dan keuangan perseroan yang bertumbuh pada semester I-2025. "Kami meyakini penurunan harga ini merupakan fluktuasi jangka pendek," imbuh dia.
Pada periode yang sama, perseroan mencatatkan pertumbuhan jumlah aset pada semester I-2025 sebesar Rp 1,09 triliun atau tumbuh sekitar 4,73 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 1,05 triliun.
Sementara itu, per Juni 2025, NICL mencatatkan penurunan jumlah liabilitas menjadi Rp 150,69 miliar dibandingkan Desember 2024 sebesar Rp 171,92 miliar. "Perseroan juga tidak memiliki utang bank jangka panjang," ungkap Ruddy.
Lebih lanjut, Ruddy memproyeksikan bahwa pada semester II-2025, harga nikel masih bergerak fluktuatif imbas dari kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat yang masih menghantui stimulus ekonomi global, ditambah dengan adanya kelebihan pasokan yang dapat menambah tekanan pada harga nikel.
Namun, menurut dia, industri nikel domestik memiliki peluang strategis di mana adanya ketegangan antara China dan negara Barat yang membuat banyak negara mencari alternatif pasokan logam kritis.
Indonesia dapat memanfaatkan peluang itu sebagai pemain kunci non-China.
Kondisi dan situasi nikel domestik saat ini semakin kompetitif dengan adanya beberapa smelter yang beroperasi dengan berbagai teknologi.
"Sehingga hal ini menjadi keuntungan untuk Perseroan dengan beberapa jenis kategori (produk) ore yang diproduksi oleh perseroan sesuai dengan kebutuhan market," tutup dia.
Baca juga: Ikuti Jejak CDIA dan COIN, BEI Sebut 5 Calon Emiten Masuk Antrean IPO
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang