JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko menilai insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pekerja industri padat karya, termasuk sepatu, tak berdampak signifikan.
Menurut Eddy, besaran insentif tersebut relatif kecil sehingga tidak mampu mendorong daya beli pekerja maupun penjualan produk dalam negeri.
“PPh 21 kan kecil sekali, nilai ekonominya tidak besar,” ujar Eddy kepada Kontan, Jumat (19/9/2025).
Baca juga: Sepatu Converse Produksi KEK Industropolis Batang Diekspor ke AS dan Australia
Ilustrasi pajak. Sejumlah asosiasi pengusaha menyambut positif keputusan pemerintah terkait pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang hanya diberlakukan pada barang mewah. Eddy menjelaskan, saat ini tantangan yang tengah dihadapi industri sepatu domestik datang dari tingginya biaya produksi (high cost).
Terkait itu, upah minimum menjadi salah faktor yang membuat biaya industri domestik jauh lebih mahal dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam dan China.
Di China dan Vietnam, Eddy menyoroti kenaikan upah minimum yang tak terjadi dalam dua tahun terakhir. Sementara itu, tahun ini saja di Indonesia terjadi kenaikan upah minimum kisaran 6 persen, yang pada gilirannya mendorong biaya produksi makin tinggi.
“Itu menjadi momok bagi kita juga,” ungkapnya.
Baca juga: Konsumen AS Tak Lagi Cari Sepatu Kasual, Penjualan Crocs Anjlok
Ia menjelaskan, insentif PPh 21 DTP setiap bulan, yang mana jumlahnya pun tak seberapa besar, tak cukup menutup kebutuhan pekerja yang terus bertumbuh dan menuntut kenaikan upah tiap tahunnya.
Eddy menambahkan, kondisi high cost ini juga membuat produk impor lebih kompetitif di pasar dalam negeri.
“Harusnya kita bisa memenuhi pasar lokal. Tapi karena high cost, produk impor lebih murah. Belum lagi masalah pajak di Indonesia yang tinggi, yang kita semua tahu dan jadi keresahan bersama,” imbuhnya.