JAKARTA, KOMPAS.com — Pengembangan energi panas bumi di Indonesia berpotensi lebih optimal jika didukung oleh insentif fiskal yang tepat dan skema KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha).
Hal ini menjadi sorotan setelah Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE 2025) berlangsung pada 17–19 September 2025 di Jakarta International Convention Center, yang menyoroti inovasi teknologi dan kolaborasi energi hijau.
Riki Firmandha Ibrahim, dosen S2 Energi Terbarukan Universitas Darma Persada dan mantan Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) 2016–2022, mencermati tantangan utama panas bumi, mulai dari biaya investasi yang tinggi, proses perizinan kompleks, hingga risiko teknis.
Banyak potensi panas bumi berada di lokasi sulit dijangkau seperti pegunungan, hutan lindung, dan kepulauan terpencil, sehingga biaya logistik membengkak.
Baca juga: Jokowi Heran Ruwetnya Izin Bangun PLTP di RI, Lamanya Sampai 6 Tahun
Riki Ibrahim memaparkan strategi energi Indonesia dalam Dialog Kebijakan UN ESCAP di Kamchatka, Rusia.Dari sisi ekonomi, ketergantungan pada PLN sebagai offtaker tunggal dan skema harga listrik yang kurang kompetitif membuat investor berhati-hati.
Menurut Riki, proses regulasi yang berubah-ubah juga menambah ketidakpastian, sehingga banyak proyek potensial tertunda atau gagal dijalankan.
“Proyek panas bumi di Indonesia secara ekonomi sangat menguntungkan, karena bisa menghasilkan listrik 24 jam setiap hari. Namun biaya awal besar dan regulasi yang kompleks menahan investor baru untuk masuk,” kata Riki, melalui keterangannya, dikutip Rabu (24/9/2025).
Baca juga: Regulasi Jadi PR Besar Industri Panas Bumi, RI Harus Belajar dari Filipina, Turki, hingga Kenya
Sebagai solusi, Riki menekankan pentingnya insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, fasilitas impor, dan dukungan pendanaan eksplorasi melalui GREM/GEUDP yang dikelola PT SMI dan World Bank.
“Kolaborasi BUMN melalui skema KPBU serta dukungan pendanaan inovatif, termasuk green bond, bisa menekan risiko dan mempercepat pembangunan pembangkit listrik panas bumi,” tambah Riki.
Pendekatan sosial juga menjadi faktor penting. Edukasi masyarakat lokal dan skema “community benefit sharing” perlu dijalankan sebelum proyek dimulai agar manfaat energi panas bumi terasa langsung bagi warga sekitar dan mengurangi resistensi lokal.
Baca juga: Panas Bumi Lahendong Gaungkan Transisi Energi dan Ketahanan Pangan di TIFF 2025