KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat Donald Trump menetapkan aturan baru dengan biaya aplikasi visa H-1B sebesar 100.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,6 miliar. Kebijakan yang diumumkan pekan lalu itu langsung memicu kepanikan di industri teknologi.
Microsoft dan Meta bahkan meminta karyawan yang sedang berada di luar negeri segera kembali ke AS dalam 24 jam. Sementara perusahaan rintisan di Eropa justru menyambut aturan tersebut sebagai peluang menarik lebih banyak pekerja terampil.
“Bagi banyak orang di Eropa, ini seperti berkah terselubung,” ujar Victor Riparbelli, CEO Synthesia, perusahaan AI berbasis di London, dikutip dari Forbes, Sabtu (27/9/2025).
Baca juga: Trump Naikkan Biaya Visa H-1B Jadi Rp 1,6 Miliar, Dokter Asing Terancam Gagal ke AS
Menurut dia, kebijakan ini bisa menjadi kerugian bagi AS, sementara Eropa sangat membutuhkan tenaga ahli, khususnya di posisi senior seperti direktur atau wakil presiden.
Sejak lama, imigrasi ketat dan ancaman deportasi membuat AS kurang menarik bagi talenta asing. Dengan tambahan biaya tinggi, arus tenaga kerja yang biasanya menuju Silicon Valley bisa lebih banyak mengalir ke kota-kota seperti London dan Paris.
Meski demikian, kebijakan ini diperkirakan tak terlalu berpengaruh bagi raksasa teknologi seperti Alphabet dan Meta.
Biaya Rp 1,6 miliar dinilai hanya “sebutir pasir” dibanding sumber daya mereka. Namun, bagi startup tahap awal di AS, beban ini bisa menghilangkan daya saing dalam perekrutan.
CEO InTouch asal Praha, Vassili le Moigne, menilai kebijakan Trump justru membantu Eropa. “Kesan AS sebagai El Dorado mulai memudar. Kami hampir bisa bilang terima kasih kepada Trump,” katanya.
Baca juga: Kebijakan Visa H-1B Trump Picu Penumpang Emirates Panik Turun
CEO Y Combinator, Garry Tan, bahkan menyebut kebijakan ini sebagai “pukulan telak” bagi startup kecil yang biasanya tak mampu menanggung biaya besar.
“Hasil kebijakan ini adalah hadiah besar bagi pusat teknologi di luar AS,” ujarnya dalam sebuah unggahan.
Beberapa perusahaan AI memang tak terlalu terpengaruh. Jesse Zhang, CEO Decagon, mengatakan biaya itu membuat perekrutan karyawan baru lebih sulit, tetapi perusahaan tetap akan mempertahankan pegawai yang sudah ada.
Sekitar 10 persen karyawan Decagon saat ini menggunakan visa H-1B.
Program visa H-1B sendiri dibentuk Kongres pada 1990 dengan kuota 65.000 per tahun untuk pekerja bergelar sarjana, ditambah 20.000 untuk lulusan magister atau lebih tinggi.
Permintaan meningkat pesat sepanjang 2025, naik 150 persen sejak Januari hingga September.
Namun, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnik sebelumnya menyebut visa H-1B sebagai visa yang “paling banyak disalahgunakan”.
Baca juga: Aturan Visa Baru Presiden Trump Ancam Perusahaan Teknologi AS