KETIKA Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa “salah baca data” soal harga keekonomian LPG 3 kilogram, Purbaya menanggapi bahwa angka yang ia sebut diperoleh dari “hitungan staf”.
Purbaya mengaku sedang mempelajari ulang, sembari menegaskan perbedaan cara lihat bisa terjadi antara praktik teknis dan akuntansi fiskal.
Di hadapan publik, silang pendapat ini tak sekadar adu kutipan, melainkan membuka kembali dapur produksi data: dari mana sumbernya, bagaimana dikumpulkan, dianalisis, dibaca, lalu disimpulkan.
Rujukan faktualnya jelas: Purbaya menyebut harga keekonomian LPG 3 kg sekitar Rp 42.750/tabung, disubsidi Rp 30.000 sehingga di pangkalan resmi menjadi Rp 12.750.
Bahlil menilai ada kekeliruan membaca data tersebut dan meminta kehati-hatian dalam menyajikannya ke publik.
Baca juga: Duduk Perkara Bahlil-Purbaya Saling Jawab soal Data Subsidi LPG 3 Kg
Perbedaan narasi kerap berawal dari sumber data yang berbeda. Di satu sisi, Kementerian ESDM lazimnya bertumpu pada data teknis industri migas dan jaringan distribusi, termasuk kuota LPG 3 kg yang untuk tahun 2024 disepakati di rentang 8,20–8,30 juta metrik ton berdasarkan rapat koordinasi dengan pemangku kepentingan sektor energi.
Di sisi lain, Kementerian Keuangan mengompilasi data anggaran, pagu subsidi, dan parameter makro untuk mengestimasi beban fiskal.
Ketika dua basis ini tidak diharmonisasi, wajar bila angka yang keluar tampak “tidak sama”, meski keduanya masing-masing konsisten di dalam domainnya.
Cara data dihimpun membentuk cara data dibaca. Data teknis ESDM dikoleksi dari catatan produksi, biaya logistik, margin distribusi, hingga realisasi penyaluran, yang kemudian dikalkulasi ke harga keekonomian berbasis biaya penuh.
Sementara itu, di Kementerian Keuangan, tim melakukan desk analysis terhadap laporan keuangan dan proyeksi APBN: mereka melihat selisih antara harga keekonomian dan harga jual sebagai beban subsidi dan/atau kompensasi.
Tahun 2024 memberi gambaran skala: pemerintah membukukan realisasi subsidi energi sampai 30 November 2024 sebesar Rp 157,16 triliun (komponen “subsidi” saja), sementara realisasi gabungan subsidi plus kompensasi energi diberitakan sekitar Rp 327 triliun per Oktober 2024 dan mencapai Rp 386,9 triliun hingga akhir tahun menurut konferensi pers APBN KiTa.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa selain “subsidi” yang tercatat dalam belanja, ada pula “kompensasi” yang dibayarkan kepada BUMN energi ketika harga jual ditahan; jika satu pihak berbicara dengan basis “subsidi”, pihak lain memakai “subsidi+kompensasi”, hasilnya pasti berbeda.
Kerangka fiskal 2025 juga penting sebagai konteks analisis. APBN 2025 menganggarkan total subsidi dan kompensasi energi sekitar Rp 394,3 triliun, dengan rincian kebijakan operasional yang meliputi kuota BBM sekitar 19,4 juta kiloliter dan LPG 3 kg sekitar 8,2 juta metrik ton, serta sasaran pelanggan listrik bersubsidi sekitar 42,1 juta pelanggan.
Di saat sama, pemberitaan lain merinci bahwa komponen “subsidi energi” di 2025 sekitar Rp 203,4 triliun (di luar kompensasi).
Baca juga: Purbayanomic: Ekonomi Tumbuh 6 Persen dengan Suntikan Rp 200 Triliun?
Perbedaan istilah belanja inilah yang sering memunculkan kesan “salah hitung”. Padahal perbedaannya berasal dari apa yang dimasukkan ke dalam keranjang perhitungan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya