
TREN thrifting atau membeli pakaian bekas menjadi gaya hidup kaum muda urban. Di tengah krisis ekonomi dan meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan, aktivitas ini dianggap sebagai langkah cerdas untuk tetap bergaya tanpa boros. Namun, di balik semangat keberlanjutan tersebut, praktik thrifting ilegal membawa dampak negatif bagi ekonomi nasional.
Berdasarkan riset NEXT Indonesia Center, selama 20 tahun (2005–2024) tercatat adanya selisih pencatatan impor pakaian bekas dengan kode HS 6309 sebesar USD 591 juta. Jika dikonversi dengan kurs rata-rata Rp 12.049/USD (Bank Indonesia), nilai kerugiannya sekitar Rp 7,1 triliun. Angka ini membuktikan adanya kebocoran penerimaan pajak dan lemahnya sistem pengawasan perdagangan yang berlaku di Indonesia.
Fenomena thrifting yang awalnya dipandang sebagai tren ramah lingkungan ternyata menyimpan sisi “abu-abu” yang kompleks. Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, Christiantoko, menegaskan bahwa praktik thrifting ilegal membawa sedikitnya lima ancaman besar bagi ekonomi nasional.
Pertama, potensi pendapatan negara hilang karena bea masuk tidak dibayarkan. Kedua, harga produk impor bekas yang sangat murah menekan industri garmen lokal, terutama pelaku UMKM yang sulit bersaing. Ketiga, kegiatan ini melanggar hukum perdagangan dan membuka peluang manipulasi data kepabeanan.
Keempat, masuknya pakaian tanpa kontrol mutu menimbulkan risiko kesehatan bagi masyarakat. Kelima, maraknya praktik thrifting ilegal menjadi cermin lemahnya tata kelola ekonomi dan pengawasan perdagangan di Indonesia.
Baca juga: Cerita Aza dan Malihah, Pilih Thrifting Demi Berhemat di Tengah Pembatasan Impor Pakaian Bekas
Dengan demikian, thrifting ilegal bukan sekadar soal gaya hidup atau selera mode, melainkan persoalan struktural yang menuntut perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat.
Menurut teori ekonomi institusional yang dikemukakan Douglas North dalam Institutions, Institutional Change and Economic Performance (1990), kelemahan lembaga negara akan melahirkan perilaku oportunistik di sektor ekonomi informal. Dalam konteks thrifting, lemahnya pengawasan pelabuhan dan sanksi yang tidak tegas membuat praktik penyelundupan pakaian bekas terus berlangsung.
Sepanjang 2024 hingga Agustus 2025, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat 2.584 kasus penyelundupan pakaian bekas dengan nilai barang Rp49,44 miliar. Data ini menegaskan bahwa regulasi yang melarang impor barang bekas melalui Pasal 47 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan belum diikuti dengan pengawasan yang efektif.
Baca juga: Cerita Pedagang Thrifting Pasar Senen: Stok Menipis, Harga Bal Mulai Naik
Masalah lain adalah tingginya permintaan konsumen terhadap barang murah dan unik. Media sosial banyak unggahan bertagar #ThriftShop sebagai simbol gaya hidup hemat dan kreatif. Padahal, pakaian itu pada umumnya berasal dari balpres atau bal pakaian bekas yang diselundupkan dari Malaysia melalui jalur laut.
Philip Kotler dalam Marketing Management (2017) menjelaskan bahwa keputusan pembelian sering dipengaruhi oleh citra sosial dan tren kelompok, bukan semata kebutuhan. Dalam hal ini, konsumen muda ingin tampil berbeda dan ramah lingkungan, meski tanpa sadar memperkuat rantai perdagangan ilegal.
Dari sisi makro, praktik ini menimbulkan dilema kebijakan. Pemerintah harus melindungi industri dalam negeri sekaligus mempertimbangkan nasib pedagang kecil yang menggantungkan hidup pada bisnis thrifting.
Baca juga: Pedagang Thrifting di Pasar Senen Kelimpungan, Stok Barang Menipis
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan akan memberikan tindakan tegas terhadap pelaku yang menolak kebijakan pelarangan impor pakaian bekas illegal. Namun, pendekatan yang represif justru bisa berisiko menimbulkan ketidakadilan sosial. Banyak pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya dengan berjualan barang ini. Mereka tidak mengetahui bahwa barang yang dijualnya itu adalah hasil impor ilegal.
Ekonom senior Emil Salim (2023) menilai tumbuhnya ekonomi informal seperti thrifting ilegal disebabkan oleh ketimpangan struktural. Banyak masyarakat tidak memiliki akses terhadap sistem produksi dan distribusi yang legal. Akibatnya, mereka memilih bertahan hidup di sektor yang dianggap “abu-abu”.
Pedagang kecil menjual pakaian bekas bukan karena ingin melanggar hukum, melainkan karena harga bahan baku lokal tinggi, sedangkan permintaan pasar terhadap barang impor ini stabil. Dengan demikian, penanganan masalah ini tidak cukup dengan razia, tetapi perlu menyentuh akar ekonomi rakyat yang rapuh.
Baca juga: Apa Itu Thrifting dan Mengapa Kini Impor Baju Bekas Dilarang Menkeu Purbaya?
Mengatasi hal ini bisa dimulai melalui pendekatan ekonomi sirkular. Pemerintah perlu memfasilitasi sistem upcycling dan recycling pakaian lokal agar limbah tekstil bisa diolah kembali menjadi produk baru. Konsep ini sejalan dengan gagasan Ellen MacArthur Foundation dalam Circular Economy Report (2021) yang menekankan pentingnya sirkulasi sumber daya untuk mengurangi limbah global.