Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar Untung-Rugi Kebijakan Pemda Pinjam Uang ke Pemerintah Pusat

Kompas.com - 31/10/2025, 11:51 WIB
Isna Rifka Sri Rahayu,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah baru saja meresmikan kebijakan baru mengenai pemerintah daerah (pemda) diperbolehkan meminjam uang ke pemerintah pusat.

Pinjaman tersebut diberikan dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pinjaman Pemerintah Daerah.

Kebijakan ini menjadi langkah terbaru pemerintah untuk memperkuat pembiayaan pembangunan daerah. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan perdebatan karena dinilai berpotensi menambah ketergantungan fiskal pemda terhadap pusat.

Baca juga: Aturan Baru, Berikut 3 Kelompok yang Bisa Pinjam Uang ke Pemerintah Pusat Pakai APBN

Lantas, seperti apa manfaat dan risiko dari kebijakan baru ini?

1. Menimbulkan Ketergantungan Fiskal Baru

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai, kebijakan ini muncul di tengah sempitnya ruang fiskal daerah. Kondisi ini juga terjadi seiring dengan pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD).

Pemerintah pusat telah menetapkan TKD 2026 sebesar Rp 693 triliun. Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan alokasi pada APBN 2025 sebesar Rp 919,87 triliun.

"Dari survey atau data yang dikeluarkan oleh Menkeu sendiri, 50 persen atau separuh daripada kabupaten/kota yang ada di Indonesia itu kapasitas fiskalnya rendah atau sangat rendah. Apalagi ketika transfer ke daerahnya itu dipotong. Makin berkuranglah sebetulnya ruang fiskal daripada daerah itu," ujarnya kepada Kompas.com, dikutip Jumat (31/10/2025).

Baca juga: 6 Syarat Pemda Bisa Pinjam Uang ke Pemerintah Pusat, Sumber Dana dari APBN

Faisal menilai, kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 itu hanya mengubah bentuk ketergantungan pemda terhadap pusat dari sebelumnya berbasis TKD menjadi berbasis utang.

"Ini menambah ketergantungan daerah terhadap pusat yang tadinya ketergantungannya terhadap transfer langsung, pemberian, sekarang minjam," ucapnya.

Dia menjelaskan, bagi banyak daerah, terutama yang fiskalnya lemah, pinjaman ke pusat pada akhirnya bukan menjadi instrumen penguatan ekonomi, tetapi justru mekanisme bertahan ketika transfer ke daerah menurun.

"Kalau dalam kondisi di mana transfernya itu dikurangi ya, mau tidak mau akhirnya harus meminjam kan. Dan itu juga yang sudah menjadi pemikiran daripada daerah-daerah ketika mereka kesulitan untuk mencari sumber pendanaan," jelasnya.

Oleh karenanya Faisal menilai kebijakan tersebut tidak menyentuh akar persoalan utama keuangan daerah yang sempit dan justru dapat memperkuat ketergantungan pemda terhadap pemerintah pusat.

Baca juga: Purbaya Ungkap Alasan Pemda, BUMN dan BUMD Boleh Utang ke Pusat: Tutup Kekurangan Jangka Pendek

2. Bermanfaat Selama Digunakan untuk Belanja Produktif

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, kebijakan ini bisa memberikan manfaat apabila diarahkan secara tepat, terutama untuk pembiayaan program yang bersifat produktif.

Pinjaman dari pusat dapat menjadi alternatif pendanaan bagi pemda yang membutuhkan tambahan modal untuk mempercepat pembangunan, selama digunakan secara hati-hati dan akuntabel.

"Kalau kualitas belanjanya bagus ya saya kira memberikan manfaat. Misalnya sebagian utangnya lari ke sektor produktif, belanja modal, apapun yang kemudian memberikan multiplier efek ekonomi jelas," ucapnya kepada Kompas.com.

Namun, kebijakan ini akan memberikan efek negatif jika uangnya hanya digunakan untuk menambal anggaran belanja karena pendapatan asli daerah (PAD) yang belum masuk atau TKD yang belum cair.

"Misalnya untuk tambahan non-honorium P3K, itu akan jadi beban karena mereka larinya kan ke belanja pegawai dan sebagainya. Sehingga dengan sumber utang beban daerah akan tambah besar di kemudian hari," kata Achmad.

Baca juga: Pemda hingga BUMD Bisa Utang ke Pemerintah Pusat, Kemenkeu Kaji Batasan Pinjaman

3. Berisiko Bebani Fiskal

Senada dengan Achmad, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Inde M. Rizal Taufikurahman mengatakan, langkah ini memang bisa mempercepat proyek pembangunan, tapi juga bisa menambah risiko terhadap stabilitas fiskal.

Oleh karenanya, kebijakan ini harus dijalankan dengan hati-hati dan berbasis analisis kelayakan yang ketat agar tidak menimbulkan beban fiskal tersembunyi (contingent liability) di masa depan.

"Jika banyak penerima pinjaman gagal membayar, maka beban bisa kembali ke APBN dan mempersempit ruang fiskal pemerintah," kata Rizal.

Menurutnya, kebijakan ini dapat mempercepat pembangunan infrastruktur dan proyek produktif. Namun, tanpa pengawasan yang baik, pinjaman ini bisa menimbulkan ketergantungan baru terhadap pusat.

Sebab jika dana pinjaman digunakan untuk proyek yang tidak menghasilkan, maka akan muncul beban utang baru di daerah dan menurunkan kemandirian fiskal.

"Karena itu, pinjaman harus selektif dan hanya untuk kegiatan yang benar-benar produktif," tegasnya.

Baca juga: Pemda, BUMN, dan BUMD Bisa Dapat Pinjaman dari APBN, Ini Syaratnya

Halaman:


Terkini Lainnya
Neraca Dagang Indonesia Surplus 4,34 Miliar Dollar AS Pada September 2025
Neraca Dagang Indonesia Surplus 4,34 Miliar Dollar AS Pada September 2025
Ekbis
Perkuat Peran di IKN, PT PP Teken Kontrak Pembangunan Jalan Kawasan Yudikatif Senilai Rp 1,97 Triliun
Perkuat Peran di IKN, PT PP Teken Kontrak Pembangunan Jalan Kawasan Yudikatif Senilai Rp 1,97 Triliun
Industri
OJK Ungkap Tantangan Pengembangan Industri Keuangan Syariah, Mulai Permodalan hingga Diversifikasi Produk
OJK Ungkap Tantangan Pengembangan Industri Keuangan Syariah, Mulai Permodalan hingga Diversifikasi Produk
Ekbis
Pabrik Asia Lesu, Dampak Tarif dan Lemahnya Permintaan AS Mulai Terasa
Pabrik Asia Lesu, Dampak Tarif dan Lemahnya Permintaan AS Mulai Terasa
Ekbis
Purbaya dan DPD Bahas Arah Kebijakan Fiskal dan Penguatan Daerah
Purbaya dan DPD Bahas Arah Kebijakan Fiskal dan Penguatan Daerah
Ekbis
Rupiah Melemah di Awal Pekan, Dihantui Kenaikan Inflasi dan Surplus Dagang Menyusut
Rupiah Melemah di Awal Pekan, Dihantui Kenaikan Inflasi dan Surplus Dagang Menyusut
Ekbis
Harga Referensi Biji Kakao Turun 14,5 Persen, Imbas Suplai Melimpah
Harga Referensi Biji Kakao Turun 14,5 Persen, Imbas Suplai Melimpah
Ekbis
Harga Emas Antam Melorot di Perdagangan Hari Ini, Turun Jadi Rp 2,27 Juta Per Gram
Harga Emas Antam Melorot di Perdagangan Hari Ini, Turun Jadi Rp 2,27 Juta Per Gram
Ekbis
Harga Emas Antam Hari Ini Turun Rp 12.000, Jadi Rp 2,27 Juta per Gram
Harga Emas Antam Hari Ini Turun Rp 12.000, Jadi Rp 2,27 Juta per Gram
Ekbis
Kenalin Bobibos, BBM Nabati yang Diklaim Ramah Lingkungan
Kenalin Bobibos, BBM Nabati yang Diklaim Ramah Lingkungan
Energi
PKH November 2025 Sudah Cair, Begini Cara Cek Penerimanya
PKH November 2025 Sudah Cair, Begini Cara Cek Penerimanya
Ekbis
Di Bawah Kepemimpinan Hendrik Komandangi, Bank Saqu Jadi Mitra Pertumbuhan Korporasi
Di Bawah Kepemimpinan Hendrik Komandangi, Bank Saqu Jadi Mitra Pertumbuhan Korporasi
Ekbis
Daftar Tarif Listrik Terbaru Mulai Oktober 2025, Harga per KWH untuk Semua Golongan
Daftar Tarif Listrik Terbaru Mulai Oktober 2025, Harga per KWH untuk Semua Golongan
Ekbis
IHSG Bergerak Fluktuatif, Disarankan Fokus ke Saham Defensif dan Emiten Berkinerja Solid
IHSG Bergerak Fluktuatif, Disarankan Fokus ke Saham Defensif dan Emiten Berkinerja Solid
Ekbis
Sido Muncul (SIDO) Tebar Dividen Interim Rp 647 Miliar, Cek Jadwalnya
Sido Muncul (SIDO) Tebar Dividen Interim Rp 647 Miliar, Cek Jadwalnya
Ekbis
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau