
INDONESIA dibuat gempar dengan Maluku Utara belakangan ini dalam banyak hal. Misalnya, angka pertumbuhan ekonomi (triwulan II) 2025 yang fantastis.
Bukan main-main, berdasarkan data BPS, Maluku Utara adalah provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi se-Indonesia—skornya mencapai 32,09 persen.
Pertanyaannya, apakah angka (kuantitatif) yang tinggi ini linier dengan kualitas hidup masyarakat Maluku Utara yang mayoritas adalah petani/pekebun dan nelayan?
Jika dicermati kritis, ini bukan kabar yang sepenuhnya baik. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi tinggi bukan karena ekonomi hijau dan ekonomi biru. Bukan pula mayoritas masyarakat yang menikmati manisnya.
Sektor penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar—yang merupakan indikator pertumbuhan ekonomi—adalah pertambangan (60,57 persen) dan industri pengolahannya (57,51 persen).
Sektor-sektor ini sejak lama ada di Maluku Utara dan memang sebagai pendongkrak angka pertumbuhan ekonomi.
Berkarakteristik investasi besar dan teknologi canggih, bisa dinalar dengan mudah siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini.
Masyarakat lebih terbeban atas kerusakan ekologis yang sedang berlangsung dan akan terus berlangsung sampai di masa mendatang (baca lengkapnya: Perairan Halmahera Tercemar Logam Berat, Kompas.id, 07/11/2023).
Pertumbuhan ekonomi tidak bisa sebatas mengandalkan sektor pertambangan dan industri pengolahannya.
Ekonomi sehat harus bertumpu pada sumber daya alam berkelanjutan. Pun, tak cukup sekadar mengejar tumbuh tinggi, ekonomi harus fokus pada pertumbuhan merata, tidak timpang.
Untuk menuju pada target itu, pertumbuhan ekonomi harus menyentuh aspek mayoritas masyarakat kita.
Baca juga: Menyorot Kebijakan Tarif Jalan Tol
Bangun Maluku Utara berarti bangun petani/pekebun dan nelayannya. Dari total sekitar 1,3 juta penduduk Maluku Utara, petani mencapai 153.790 orang (Kompas.id, 2023) dan nelayan mencapai 42.908 orang (2024).
Sayangnya, PDRB sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan jalan di tempat. Kontribusinya cukup di angka 2,58 persen. Pertanda selama ini sektor ekonomi hijau dan ekonomi biru belum disentuh dan dimanfaatkan optimal.
Sejak dulu budaya masyarakat kita adalah berkebun dan melaut. Maluku Utara diberi potensi melimpah atas sumber daya alam berkelanjutan ini.
Tanah Maluku Utara kaya akan kelapa, pala, cengkih. Pada 2023, jumlah produksi kelapa mencapai 200.086 ton, pala 8.338 ton, dan cengkih 4.656 ton (BPS Maluku Utara).