BANDUNG, KOMPAS.com – Ketergantungan impor pangan yang meningkat dinilai mengkhawatirkan.
Kondisi ini melahirkan inisiasi gerakan budaya pangan, Indonesia Locavore Society (ILS) di Bandung, Sabtu (1/11/2015).
Syarif Bastaman, Pembina sekaligus Inisiator ILS, mengatakan, data Januari-Agustus 2025 mencatat impor pangan sudah masuk indikasi tren mengkhawatirkan.
Baca juga: FILONOMICS: Gimana Caranya Indonesia Lepas dari Impor Pangan?
Ilustrasi beras oplosan"Impor beras sekitar 3,05 juta ton atau naik sekitar 92 persen dibanding tahun sebelumnya, mencerminkan kegagalan pencapaian swasembada. Gandum mencapai 8,43 juta ton, juga menandakan ketergantungan total terhadap bahan baku tepung dan mie impor," ujar Syarif dalam rilis yang diterima Kompas.com, Sabtu.
Menurut dia, impor kedelai sebagai bahan baku makanan favorit masyarakat, yakni tahu dan tempe juga diperkirakan melonjak hingga mencapai 2,05 juta ton.
Demikian juga dengan gula sebesar 3,38 juta ton.
"ILS kami dirikan selain untuk memulai kedaulatan dari keseharian di meja makan. Juga agar Indonesia bisa menghemat devisi sebagai modal pertumbuhan ekonomi bangsa," sambung pengusaha sumber daya alam asal Tasikmalaya ini.
Baca juga: PR Pemerintah: Menggapai Swasembada di Tengah Rencana Impor Pangan dari AS
ILS diisi beragam profesi mulai dari aktivis agrobisnis, pengusaha, organisasi di bidang pertanian, budayawan, jurnalis, hingga komedian.
“ILS diumpamakan anak baik yang tidak mau dibelikan makanan terus dari restoran oleh ayahnya. Ayah ini pemerintah yang selalu impor pangan. Impor ini akan turun kalo rakyat nggak mau makan impor," beber dia.
Ketua Umum ILS, Eep S Maqdir mengatakan, gerakan ini lahir sebagai respons pergeseran besar budaya komsumsi masyarakat dunia. Yakni munculnya kesadaran baru tentang pentingnya kembali ke akar (local food) dengan mengenali dari mana makanan kita berasal dan bagaimana ia dihasilkan.