THOMAS Trikasih Lembong alias Tom Lembong divonis 4 tahun 6 bulan penjara dalam kasus importasi gula. Ruang sidang tak hanya bergema oleh palu hukum, tetapi juga menggaung ke seluruh jagat politik dan opini publik.
Vonis ini mengguncang sendi hukum, retorika antikorupsi, dan narasi politik pemerintah.
Ironis, majelis hakim menyatakan bahwa Tom Lembong tidak menerima suap, tidak mengambil keuntungan pribadi, bahkan tidak memiliki niat jahat (mens rea).
Alih-alih dinyatakan bebas, ia tetap dijatuhi hukuman pidana penjara karena dianggap melanggar prosedur administratif dalam keputusan izin impor gula.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan krisis hukum, tetapi juga krisis komunikasi politik. Sejak awal, Presiden Prabowo Subianto menegaskan perang terhadap korupsi dengan retorika lantang.
Baca juga: Vonis 4,5 Tahun Tom Lembong: Noda Hitam Penegakan Hukum
Dalam pidato pelantikannya, ia berseru: "Kalau ikan busuk, busuknya dari kepala". Ucapan ini menggema sebagai ancaman moral terhadap birokrasi yang korup.
Dalam pidato Hari Pancasila pada 2 Juni 2025, ia bahkan menyatakan bahwa tidak akan ada kompromi terhadap pelanggaran yang merugikan rakyat.
Di sisi lain, Presiden Prabowo pernah menawarkan jalan damai bagi koruptor besar. Buktinya, dalam kunjungan ke Mesir pada akhir 2024, ia mengatakan: "Kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan."
Maka, pertanyaannya pun mencuat: bagaimana bisa seorang yang tidak mencuri, tapi malah dipenjara, sementara pencuri besar diberi ruang kompromi?
Fenomena ini dapat dibaca melalui kerangka teori framing dalam komunikasi politik. Menurut Robert Entman, framing adalah proses seleksi dan penekanan aspek tertentu dari realitas untuk membentuk persepsi publik (2004).
Dalam kasus Tom Lembong, media dan pejabat publik menggaungkan istilah "korupsi impor gula", membingkai kasus ini sebagai pelanggaran kriminal berat, bukan kesalahan teknokratis yang terjadi dalam proses kebijakan publik. Framing ini menutup ruang diskusi yang lebih rasional dan adil tentang esensi perkaranya.
Pembingkaian ini diperkuat oleh gaya komunikasi populis yang menekankan moralitas simbolik.
Dalam konteks ini, Prabowo tampil sebagai sosok pemberantas korupsi yang kuat, sebagaimana diharapkan oleh sebagian besar rakyat.
Namun, seperti yang diingatkan Murray Edelman dalam The Symbolic Uses of Politics, simbol-simbol politik sering kali digunakan untuk menciptakan persepsi stabilitas dan kepemimpinan, bahkan ketika kenyataannya jauh lebih kompleks (1985).
Dalam hal ini, komunikasi antikorupsi tampak digunakan sebagai instrumen simbolik untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan, bukan sebagai prinsip keadilan sejati.