Salin Artikel

Banjir Jateng, Walhi Nilai akibat Hilangnya Daerah Resapan di Hulu dan Kerusakan Lingkungan di Hilir

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah menilai fenomena banjir ini bukan sekadar masalah tahunan, melainkan mencerminkan kegagalan kebijakan pemerintah dalam penanganan bencana.

Dalam Konferensi Pers Respon Cepat Banjir yang diadakan melalui Zoom Meeting pada Kamis (30/10/2025), Walhi menegaskan pentingnya pertanggungjawaban pemerintah dalam menanggulangi bencana di Jawa Tengah.

Banjir bandang telah menenggelamkan permukiman penduduk dan menyebabkan kemacetan di ruas jalan pantai utara Jawa, termasuk jalan tol tanggul laut Semarang-Demak.

Manajer Advokasi Walhi Jawa Tengah, Adetya Pramandira, menjelaskan bahwa penyebab banjir ini adalah hilangnya daerah resapan air di hulu, kerusakan di hilir, serta tidak optimalnya pompa air di tengah curah hujan yang tinggi.

“Semarang telah kehilangan banyak daerah resapan air di bagian Semarang atas akibat pembukaan lahan untuk perumahan dan pertambangan. Dalam RTRW Jawa Tengah, pertambangan nyaris berada di hampir seluruh kabupaten-kota,” ungkapnya.

Hasil penelitian Walhi menunjukkan kerusakan yang terjadi di daerah aliran sungai (DAS) akibat kegiatan industrialisasi.

Ubah penanganan

Adetya juga menekankan perlunya upaya serius dari pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten di wilayah rawan banjir untuk mencegah terulangnya pola bencana yang sama.

“Pendekatan kebencanaan seharusnya tidak hanya berkutat pada persoalan teknis seperti penambahan pompa air dan perbaikan tanggul, tetapi juga melakukan mitigasi secara struktural dan non-struktural,” ujarnya.

Mitigasi tersebut sejalan dengan dokumen Kajian Risiko Bencana Nasional Provinsi Jawa Tengah Tahun 2022-2026, yang mencakup penataan ruang, mitigasi struktural, dan penyuluhan kepada masyarakat, terutama di kabupaten dengan risiko tinggi seperti Cilacap, Kebumen, Boyolali, Sragen, Grobogan, Blora, Demak, Semarang, dan Brebes.

Walhi Jateng mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk meninjau ulang kebijakan perencanaan tata ruang daerah.

“Kami merekomendasikan untuk meninjau ulang kebijakan di kawasan hulu yang berkaitan dengan corak ekonomi ekstraktif serta penanggulangan bencana dari akar, dengan membatasi dan menutup proyek serta izin usaha yang merusak kawasan hulu,” tegas Adetya.

“Selanjutnya, penting untuk memulihkan fungsi kawasan hulu dan daerah aliran sungai sebagai daerah resapan dan lindung, serta membentuk kebijakan tentang kebencanaan yang berfokus pada interaksi antar daerah,” tambahnya.

Upaya Pemprov Jateng

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengupayakan penanganan jangka pendek hingga jangka panjang tengah dijalankan untuk mengatasi banjir yang sudah sepekan terakhir merendam wilayah Kota Semarang dan Kabupaten Demak.

Untuk penanganan banjir jangka menengah dan panjang, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi meminta Pemprov Jawa Tengah mempercepat pembangunan kolam retensi besar di Terboyo, Kota Semarang dan Sriwulan, Kabupaten Demak.

Kedua infrastruktur ini diharapkan mampu menampung limpasan air hujan dari kawasan hulu lalu mengalirkannya ke laut melalui Sungai Sriwulan.

Di samping itu, pemerintah masih menggarap tanggul laut atau giant sea wall yang menghubungkan Semarang-Demak untuk meminimalisir bencana banjir.

“Untuk wilayah Kota Semarang ada kolam retensi Terboyo, luasnya hampir 250 hektare. Tadi pagi sudah kami buka untuk dikeluarkan ke laut. Sehingga secara tidak langsung kita efektifkan pompa-pompa, kita masukkan kolam retensi untuk wilayah Semarang,” ujar Luthfi dalam keterangan tertulis, Senin, (27/10/2025).

https://regional.kompas.com/read/2025/10/30/181515778/banjir-jateng-walhi-nilai-akibat-hilangnya-daerah-resapan-di-hulu-dan

Bagikan artikel ini melalui
Oke