Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Topeng Pembangunan Kaldera Toba demi Status Geopark UNESCO

Kompas.com - 07/08/2025, 15:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KALDERA Toba adalah salah satu lanskap geologi paling luar biasa di dunia. Hasil letusan supervolcano 74.000 tahun silam, yang membentuk danau vulkanik terbesar sejagat, menyimpan warisan geologi, hayati, dan budaya tak ternilai.

UNESCO telah mengakui kawasan ini sebagai Global Geopark. Namun, pengakuan itu kini berada di ujung tanduk.

Dalam siklus evaluasi resmi UNESCO tahun 2019, yang dilakukan setiap empat tahun, kawasan ini hanya diberi peringkat Yellow Card, sinyal keras bahwa status Global Geopark-nya terancam dicabut.

Ini menyiratkan, apa yang seharusnya menjadi contoh terbaik pengelolaan lanskap berkelanjutan justru berubah menjadi panggung kegagalan birokrasi.

Masalah utamanya bukan pada kurangnya hukum atau institusi. Justru sebaliknya: ada tumpukan regulasi dan struktur kelembagaan yang rumit—dari Perpres No. 9/2019, Permen ESDM No. 31/2021, hingga Pergub Sumut No. 5/2024.

Bahkan telah dibentuk badan pelaksana dan kelompok kerja di tiap geosite, lengkap dengan manager divisi, SOP, dan mandat edukasi-konservasi.

Namun, seluruh perangkat ini gagal menjadi motor penggerak. Ia berubah menjadi struktur kosong tanpa nyawa—tidak menyentuh masyarakat, tidak membangun kapasitas lokal, dan tidak memiliki refleksi atas apa yang disebut “warisan geologi hidup”.

Baca juga: Kelalaian Sistemik dan Kartu Kuning Geopark Kaldera Toba

Penyematan status Yellow Card kepada Kaldera Toba karena dinilai gagal memenuhi tiga pilar utama dalam standar Global Geopark, yakni geo-konservasi, geo-edukasi, dan geo-pariwisata.

Dalam aspek geo-konservasi, tidak ditemukan bukti konkret adanya perlindungan menyeluruh terhadap geosite yang ada, bahkan sebagian kawasan justru terancam oleh alih fungsi lahan dan aktivitas pariwisata destruktif.

Sementara itu, dalam hal geo-edukasi, tidak ada upaya sistematis untuk mengintegrasikan pengetahuan geologi ke dalam kurikulum lokal. Pengetahuan geologi juga gagal diartikulasikan dalam narasi budaya Batak yang hidup.

Selain itu, evaluasi UNESCO menunjukkan bahwa narasi interpretasi geosite dalam proses edukasi terlalu ilmiah dan tidak membumi.

Misalnya, situs Batu Gantung dan Bukit Holbung hanya dipaparkan dari sisi geologi akademik, tanpa menghubungkannya dengan legenda, nilai sosial, atau adat Batak.

Akibatnya, generasi muda Toba justru merasa asing terhadap geopark mereka sendiri, karena tidak melihat keterhubungan emosional dan historis.

Lebih menyedihkan, pilar geo-pariwisata justru dimanipulasi untuk kepentingan event besar dan tamu luar daerah, alih-alih diarahkan untuk memperkuat ekonomi masyarakat sekitar secara berkelanjutan.

UNESCO menilai bahwa event-event tersebut hanya berdampak pada indikator branding dan bukan indikator partisipasi lokal.

Kaldera Toba dinilai lemah dalam community-based development (pembangunan berbasis komunitas), yang menjadi nilai kunci dalam geopark dunia.

Tahun 2025 ini, Kaldera Toba kembali bertaruh nama dalam siklus revalidasi empat tahunan status geopark. Jika gagal memperbaiki kelemahan strukturalnya, terutama dalam hal partisipasi masyarakat dan pelestarian geosite, status sebagai geopark global bisa dicabut.

Namun, dari kondisi yang tampak, tidak ada upaya serius dari negara untuk memperbaiki akar masalah. Pemerintah lebih sibuk merancang narasi pembangunan daripada menjalankan keadilan struktural.

Kaldera Toba berada dalam wilayah tujuh kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan antarlevel pemerintahan tidak pernah sinkron.

Pemerintah pusat membentuk Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), tapi pelaksanaannya tidak maksimal dan gagal menyatu dengan masyarakat.

Alih-alih menjadi simpul pengelolaan terpadu antara pusat dan daerah, BPODT justru menjelma menjadi birokrasi tersendiri, yang menjauhkan masyarakat dari pengelolaan sumber daya alam.

Baca juga: One Piece Ditindak, Ambalat Dinegosiasikan: Ironi Nasionalisme

Event-event seremonial yang digelar, seperti F1 Powerboat, hanya menghadirkan kemewahan semu yang sama sekali tidak memberdayakan masyarakat lokal.

Masyarakat tidak pernah menjadi pahlawan lokal (local hero), hanya menjadi objek tontonan bagi wisatawan berkulit putih. Ketegangan politik pun muncul, karena pemerintah provinsi merasa dicampakkan dari agenda strategis itu.

Pemerintah kabupaten justru lebih sibuk merancang proyek asal jadi demi menyerap anggaran. ASN tidak mengangkat potensi lokal, tidak pula membangun nilai budaya dari batuan sekitar.

Akibatnya: kemiskinan intelektual, kehancuran nilai gotong royong, dan semakin jauhnya masyarakat dari pengelolaan kawasan mereka sendiri.

Masyarakat Kaldera Toba hidup di atas tanah leluhur dengan harapan bisa maju bersama nilai-nilai budaya sendiri. Namun, kebijakan negara memperlakukan mereka justru seolah sebagai dalang kehancuran.

Mereka dijadikan badut program pemerintah. Mereka dijadikan badut wisatawan asing. Tidak ada ruang partisipasi.

Mereka hanya dijadikan objek dalam narasi pembangunan yang top-down. Tidak ada satupun program besar yang secara serius melibatkan masyarakat mulai dari tahap perencanaan.

Yang ada adalah pengambilan gambar drone, panggung hiburan, dan liputan media, lalu semuanya menghilang tanpa jejak.

Masyarakat Toba bukan tidak mampu berkontribusi dalam pengelolaan Kaldera, tapi negara telah gagal membangun ruang dialog dan kepercayaan.

Sebagai pembanding, di Geopark Steirische Eisenwurzen, di Sankt Gallen, Styria, Austria, salah satu prinsip utama keberhasilannya justru terletak pada keterlibatan komunitas sejak tahap perencanaan hingga evaluasi.

Mereka tidak diposisikan sebagai penonton atas program pemerintah, melainkan sebagai pemilik narasi, penjaga lanskap, dan produsen pengetahuan lokal. Orang lokal dimanusiakan dan ditempatkan sebagai pelaku utama.

Kirchmair (2025) dalam buku "UNESCO Global Geopark Steirische Eisenwurzen" menegaskan bahwa keberhasilan geopark tidak hanya diukur dari sertifikasi internasional, tetapi dari “mutual trust-building between scientific actors and local communities through shared governance mechanisms”.

Artinya, pembangunan kepercayaan timbal balik antara aktor ilmiah (seperti peneliti, akademisi, dan pengelola konservasi) dan komunitas lokal melalui mekanisme tata kelola bersama. Sebuah standar yang justru diabaikan oleh negara dalam kasus Kaldera Toba.

Baca juga: Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK

Alih-alih mengadopsi pendekatan dialogis seperti yang diterapkan di Geopark Steirische Eisenwurzen, Austria, pengelolaan Kaldera Toba justru tenggelam dalam logika sektoral, birokratik, dan transaksional.

Pemerintah lebih sibuk memburu legitimasi simbolik daripada membangun fondasi ekologis dan sosial.

Padahal, sebagaimana dicatat dalam studi tersebut, “geopark is not a landscape of trophies, but a living territory of negotiation, contradiction, and transformation”.

Geopark bukanlah lanskap untuk dipamerkan seperti piala/trophy, tetapi wilayah hidup yang dinamis penuh negosiasi, pertentangan, dan transformasi.

Maksudnya, geopark bukan benda mati untuk dikomersialkan atau dibanggakan di kancah internasional semata. Sebaliknya, ia adalah ruang yang dinamis, di mana konflik, adaptasi, dan perubahan menjadi bagian tak terpisahkan.

Jadi, pengelolaan geopark harus fleksibel, inklusif, dan peka terhadap realitas sosial-ekologis yang terus berubah. Tanpa memahami itu, Indonesia bukan hanya berisiko kehilangan status UNESCO, tapi juga kehilangan legitimasi moral di mata rakyatnya sendiri.

Di kawasan Kaldera Toba, derajat politik jauh lebih besar daripada derajat kemanusiaan. Komentar banyak pemerhati lingkungan dan pariwisata terjadi aliansi antara pejabat dan korporasi dalam merusak sumber daya alam dan mengabaikan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah hanya hadir sebagai simbol negara, bukan sebagai pelindung rakyat. Mereka menjadi alat politik dari kerakusan elite, bukan pemimpin yang berpihak.

Penunjukan pejabat dilakukan berdasarkan kedekatan, bukan kapasitas/kualifikasi. Mereka yang dipilih bukan karena memahami Toba, tetapi karena bisa menjamin kelancaran proyek.

Konteks domestik menunjukkan bahwa isu serupa juga terjadi di Taman Nasional Komodo, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO yang justru menghadapi risiko terhadap Outstanding Universal Value-nya karena proyek pariwisata elite.

Pada Agustus 2025, UNESCO memberikan peringatan keras kepada Pemerintah Indonesia terkait izin konsesi besar kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar.

UNESCO mendesak penghentian sementara seluruh proyek infrastruktur wisata yang dinilai telah mengancam kelestarian komodo dan ekosistem Pantai Pink Beach dan Long Beach, hingga evaluasi AMDAL yang direvisi diserahkan dan dikaji ulang oleh IUCN.

Pernyataan ini tercantum dalam keputusan Komite Warisan Dunia WHC/21/44.COM/7B.93, yang juga menuntut agar pemerintah membuka ruang pemantauan independen atas dampak proyek tersebut (Mongabay, 4/8/2025).

Lebih lanjut, kritik juga disuarakan oleh masyarakat adat di Komodo dan publik sipil yang menyebut bahwa investasi yang masuk di lokasi itu belum memperhitungkan nilai lokal, tetapi justru melanggengkan model pembangunan eksklusif yang justru telah merampas tanah adat dan ruang hidup warga seperti komunitas Ata Modo.

Mereka menegaskan bahwa proyek resort elite dan dermaga mega di kawasan konservasi tidak hanya membahayakan nilai ekologis, tetapi juga menyisihkan peran masyarakat dalam ekonomi pariwisata.

Baca juga: Bendera dan Kekuasaan yang Takut

Sejalan dengan kritik terhadap Kaldera Toba, kasus Komodo ini menunjukkan bahwa proyek pariwisata nasional sering berjalan tanpa melibatkan masyarakat sebagai subjek, melainkan sebagai kelakuan simbolik yang hanya dinarasikan oleh negara dan investor besar (walhi.or.id, 2025).

Kaldera Toba bukan hanya dieksploitasi, tapi juga dijarah secara sistematis oleh kepentingan segelintir elite. Hutan-hutan heterogen yang dulu menjadi penyangga ekosistem kini sudah dan akan terus dibabat habis.

Proyek food estate yang dicanangkan pada 2021, menjadi titik balik kehancuran ekologis di sana. Proyek ini menjanjikan ketahanan pangan, tapi yang hadir justru longsor, banjir, dan konflik lahan serta rakyat yang putus asa akan masa depan mereka.

Tak hanya meninggalkan kerusakan ekologis, tetapi juga luka sosial. Tidak ada catatan keuangan yang jelas dari hasil penjualan kayu. Sama sekali tidak ada transparansi publik. Yang ada hanya keluh kesan dan derita.

Negara ikut andil dalam kezaliman terhadap masyarakat yang sudah hidup beranak pinak menjaga kawasan ini secara turun-temurun dalam waktu sangat lama.

Pengelolaan Kaldera Toba tidak dijalankan oleh orang-orang bergagasan kuat, tapi justru oleh mereka yang punya kedekatan dengan penguasa.

Para pejabat dan vendor adalah titipan elite yang hanya ingin melanggengkan proyek. Mereka membangun dinasti ‘pemerkosaan’ terstruktur, yang menyingkirkan aktor-aktor lokal progresif.

Proyek tidak lahir dari aspirasi rakyat, melainkan dari kalkulasi politik dan rente. Bahkan proposal komunitas lokal yang rasional dan berbasis nilai seringkali formal diterima lalu dikubur hanya karena tidak masuk dalam lingkaran kedekatan.

Semua yang dilakukan pemerintah adalah proyek. Bukan pembangunan. Mereka hanya membangun fisik, bukan jiwa dan masa depan. Mental masyarakat diracuni oleh janji kekayaan, bukan cita-cita kesejahteraan.

Pemerintah menjual mimpi buruk sebagai mimpi indah. Segala hal dipaksakan top-down. Tak ada ruang bagi inisiatif dari bawah. Yang disebut partisipasi hanyalah formalitas tanda tangan kehadiran dalam acara sosialisasi.

Rakyat diposisikan sebagai pemohon sedekah dari pemerintah. Mereka mengais tetesan anggaran dan dipaksa berterima kasih.

Pemerintah tampil bak raja penyelamat, padahal tugasnya hanyalah menyelenggarakan negara. Ini bukan demokrasi yang sesungguhnya. Ini parodi kekuasaan. Sementara itu, birokrasi lokal menjelma menjadi makelar proyek, bukan fasilitator pembangunan.

Pelatihan yang dilakukan pemerintah hanya berhenti di pelatihan. Tidak ada dukungan pascaprogram. Masyarakat yang belajar pertanian organik ditinggal sendirian menjual hasilnya.

Negara hanya hadir di awal, lalu hilang. Seharusnya negara juga mengurus distribusi, pasar, hingga pembeliannya.

Tanpa itu, pelatihan hanyalah jebakan. Pemerintah tidak pernah bertanya, apa yang akan terjadi setelah pelatihan selesai? Mereka hanya mengejar laporan kegiatan, bukan transformasi sosial.

Negara masih memuja logika antroposentris. Alam diposisikan sebagai objek eksploitasi. Budaya ekosentris leluhur diabaikan. Bencana pun datang: longsor, banjir, kerusakan lingkungan.

Namun, pemerintah tetap mempromosikan hotel-hotel di tepi danau, restoran di sempadan, dan kebun di ketinggian tanpa memikirkan dampaknya. Nyawa masyarakat dijadikan tumbal. Sebaliknya, masyarakat malah dikriminalisasi jika membuka lahan secara tradisional.

Gotong royong yang dulu menjadi kekuatan sosial masyarakat Toba kini digantikan oleh mental borjuis. Rumah besar, mobil mahal, dan gawai canggih jadi ukuran status sosial.

Pemerintah dan swasta tidak membangun kesadaran kolektif, melainkan menanamkan pola pikir konsumtif. Keharmonisan runtuh, kelas sosial baru terbentuk. Mereka yang setia menjaga budaya kini dianggap terbelakang.

Masyarakat hanya percaya pada legenda pahlawan nasional Sisingamangaraja, tapi buta terhadap geodiversity dan biodiversity yang menjadi kekayaan geosite mereka. Ilmu pengetahuan tidak sampai ke akar rumput.

Pemerintah gagal membumikan sains dalam narasi lokal. Akibatnya, geosite yang seharusnya membanggakan justru asing di mata generasi muda. Padahal, batuan vulkanik Toba adalah saksi sejarah bumi, bukan sekadar benda mati.

Di Indonesia, istilah ekowisata diadopsi tanpa pemahaman. Banyak yang mengira berjalan di sawah atau memanen bawang adalah inti ekowisata. Pemerintah pusat hingga daerah gagal membedakan antara wisata konvensional dan ecotourism.

Akademisi pun abai dalam menjelaskan. Maka, tak heran jika ekowisata hanya jadi bumbu promosi, bukan substansi pembangunan. Pemahaman masyarakat pun terbentuk dari tontonan, bukan pendampingan yang mendalam.

Pemerintah semestinya menggandeng LSM yang memahami nilai-nilai ekowisata berkelanjutan dan mampu mendampingi masyarakat dari hulu ke hilir. Salah satu contohnya adalah Yayasan Lentera Pertiwi Sumatera yang telah bekerja langsung di wilayah ini.

Tanpa dukungan lembaga akar rumput, pembangunan hanya akan menjadi proyek anggaran tanpa nyawa. Pemerintah justru harus belajar dari mereka yang sudah lebih dulu bekerja di lapangan bersama rakyat.

Menjawab kebuntuan struktural ini, model Pentahelix dapat diajukan bukan sekadar sebagai pendekatan teknokratik, tetapi sebagai paradigma baru pengelolaan ruang hidup. Model ini merupakan kolaborasi aktif antara akademisi, pelaku bisnis, komunitas, pemerintah, dan media (ABCGM) (Naibaho, 2025).

Alih-alih mengandalkan pendekatan top-down yang terbukti gagal, model ini menekankan keterlibatan setara antar aktor, dengan fokus pada pembangunan kapasitas bersama dan komunikasi terbuka.

Ini bukan jargon manajemen, melainkan syarat mutlak agar Kaldera Toba tidak lagi diperlakukan sebagai objek, tapi sebagai ruang hidup yang dikelola bersama secara deliberatif.

Jika rekomendasi ini tak diadopsi secara serius dan menyeluruh, maka peringatan UNESCO bukan hanya akan jadi kenyataan, tetapi membuka jalan bagi pengucilan global atas nama kelestarian dan keadilan ekologis.

Seluruh luka ini terjadi ketika Indonesia justru tengah berjuang keras untuk mempertahankan status geopark dunia bagi Kaldera Toba. Namun, perjuangan itu semakin kehilangan makna jika tidak menjawab satu persoalan mendasar, untuk siapa sebenarnya status tersebut dikejar?

Jika pengakuan internasional itu hanya menjadi alat legitimasi bagi kepentingan elite politik dan narasi negara, sementara masyarakat Toba (halak hita) tetap terpinggirkan dari pengambilan keputusan dan akses atas manfaatnya, maka yang sedang diperjuangkan bukanlah keberlanjutan, melainkan kosmetika politik.

Kaldera Toba tidak butuh pengakuan dunia yang dibangun di atas ketimpangan, pengabaian, dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai dan orang lokal. Yang dibutuhkan adalah keadilan ekologis, sosial, dan partisipasi otentik.

Tanpa itu, status UNESCO tak lebih dari bedak tipis yang menutupi wajah pembangunan yang borok, timpang, eksploitatif, dan anti-demokratis

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau