YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Prabowo Subianto resmi melakukan reshuffle 5 menteri, salah satunya adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani yang digantikan dengan Purbaya Yudhi Sadewa pada Senin (8/9/2025).
Reshuffle yang dilakukan secara mendadak ini mendapatkan respons dari Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga Dosen Departemen Vokasi Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM, Yudistira Permana.
Menurut Yudistira, ekonomi Indonesia ke depan perlu dilihat secara keseluruhan pasca reshuffle yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto, karena mereshuffle lima menteri.
Salah satunya adalah Menkeu, memiliki keterkaitan satu dan lainnya.
“Prabowo ingin jajaran menteri, jajaran bawahannya, yang mau, yang sesuai, yang mengeksekusi apa yang dikarepke (diinginkan) Prabowo,” ujarnya, Senin (8/9/2025).
Baca juga: Menkeu Deg-degan Diminta Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen: Berat Banget
“Artinya, dalam 5 menteri ini, yang salah satunya adalah Bu Sri Mulyani, ada kecenderungan yang boleh dibilang menahan, memberikan perdebatan apa yang diinginkan oleh Prabowo,” ucap dia.
Ia menambahkan bahwa melakukan reshuffle Menkeu menjadi pertaruhan di bidang ekonomi Indonesia ke depannya.
Purbaya Yudhi, lanjut dia, harus mampu menjawab kepercayaan investor.
“Ketika ada pergantian ini, IHSG langsung nyungsep, itu jangka pendeknya begitu, karena tidak ada aba-aba, isunya kita sudah tahu agak lama,” kata dia.
Tantangan bagi Menkeu baru, menurut dia, adalah bagaimana Purbaya Yudhi mampu untuk menjalankan program-program Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, program 3 juta rumah subsidi, hingga program koperasi merah putih.
“Hemat saya, menjadi risiko adalah kalau ini kemudian (Menkeu baru) iya-iya saja yang dicanangkan oleh Prabowo, karena akan menyebabkan kebocoran di anggaran,” ujar dia.
Apalagi, lanjut dia, muncul wacana BI melakukan burden sharing, yaitu surat utang negara dibeli oleh Bank Indonesia (BI) dan memungkinkan BI untuk mencetak uang lebih banyak.
“Bagaimana kita mencari dana sih, ya pasti dari lembaga asing yang menginvestasikan untuk program seperti ini. Saya nggak yakin banyak atau malah nggak ada,” ujar dia.
“Saya kira pendanaan harus dari dalam negeri. Siapa yang mau ditarik, pajak apa kita mau pajak naik, ya sudah kayak gitu kan. Dan apa demonstrasi seperti itu, jadi nggak akan menggantungkan lewat pajak,” jelas Yudistira.
Yudistira menjelaskan apabila negara mencetak uang, maka dapat berdampak pada meningkatnya inflasi.
“Apakah nanti ujungnya akan menjadi seperti burden sharing, itu pendek kata kita mencetak uang juga, inflasi yang akan muncul,” ujarnya.
“Ya jangan sampai itu (menambah peredaran uang) kemudian menjadi jalan, solusi bagi pemerintah,” kata dia.
Apabila jalan mencetak uang dilakukan dan terjadi inflasi, terpenting adalah dibarengi dengan kenaikan upah masyarakat agar daya beli masyarakat tetap terjaga.
“Kalaupun inflasi 5 persen, kalau upah nggak naik, tetap rugi 5 persen tiap tahun. Ini yang jadi perkara,” ujar dia.
Namun, ia tidak yakin cara-cara yang ia sebutkan akan dilakukan oleh pemerintah seperti pada era tahun 1960-an.
“Saya yakin pemerintah tidak akan mengulangi cara-cara seperti tahun 60-an, yang begitu ambisius kemudian proyek-proyek mercusuar, TVRI, Gelora Bung Karno, itu sangat menghabiskan anggaran sekali. Saya kok nggak yakin akan model seperti itu. Sehingga inflasi juga akan dijaga,” ucapnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini