SURABAYA, KOMPAS.com - Rak-rak buku mungkin tampak biasa bagi sebagian orang.
Dalam sebuah ruangan yang sunyi, berdebu, dengan aroma kertas yang khas.
Namun, bagi seorang Rudi Santoso, setiap buku adalah pintu untuk memulai perjalanan dan pengunjung perpustakaan adalah sahabat yang sedang mencari arah.
Selama 12 tahun (1997–2009), ia mengabdikan diri sebagai pustakawan Universitas Dinamika Surabaya, Jawa Timur.
Baginya, pustakawan bukan sekadar profesi, melainkan panggilan hati.
“Berbicara masalah rutinitas, pustakawan memang pekerjaan klerikal. Namun di balik rutinitas tersebut ada pekerjaan analisis. Misalnya analisis tren pengunjung, kecenderungan koleksi yang paling disukai, keamanan data, hingga maintenance TI perpustakaan,” tutur pria yang biasa disapa Rudi itu kepada Kompas.com.
"Kegiatan tersebut menjadi aktivitas rutin setiap hari yang pada akhirnya digunakan untuk pengambilan keputusan strategis,” katanya.
Kalimat itu mengalir tenang dari bibirnya, mencerminkan betapa ia memandang profesi pustakawan dengan kacamata yang lebih luas.
Tidak sekadar penjaga rak buku, melainkan penggerak literasi yang berdiri di garda depan melawan arus deras disinformasi.
“Salah satu kekuatan terbesar adalah passion memperkecil gap literasi informasi. Di era digital, tantangan terbesar adalah dis-informasi yang diterima masyarakat karena salah atau kurang tepat mengambil sumber informasi," ujar Rudi Santoso.
Sehingga berakibat beberapa masyarakat dan peserta didik mendapatkan informasi yang salah.
Hal ini berimplikasi pada generalisasi dan keputusan yang salah.
Terlebih, jika keputusan atau generalisasi tersebut menyangkut ranah penelitian.
"Bias informasi yang diakibatkan oleh dis-informasi menjadi perhatian kami sebagai pustakawan. Pustakawan mempunyai tanggung jawab moral untuk ikut meluruskan kembali aspek-aspek yang menyebabkan dis-informasi,” katanya.
Pelayanan yang sama
Selama bertugas sebagai pustakawan, ia menyimpan banyak pengalaman berkesan, salah satunya adalah ketika harus melayani pengunjung dari berbagai latar belakang pendidikan.
“Kesan yang paling menarik adalah bertemu dengan beragam karakter pengunjung dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Hal ini membutuhkan teknik dan strategi khusus dalam melayani mereka," kata pria asal Surabaya itu.
Pengunjung dengan tingkat pendidikan tinggi memang tidak harus diajari bagaimana menelusur informasi.
Namun, mereka kadang justru tidak mandiri dalam hal pelayanan yang lain karena mempunyai kecenderungan berperilaku feodal yang membutuhkan pelayanan lebih.
"Dari sudut pandang pustakawan, hal tersebut bukan suatu masalah besar karena kerja pustakawan adalah pelayanan. Pustakawan akan memperlakukan sama pada setiap pengunjung, yaitu service excellent,” katanya.
Tantangan di era media sosial
Namun, di balik semangat itu, ada kendala besar yang dihadapi pustakawan.
Salah satu kendala utama sebagai pustakawan yakni terkait literasi pengunjung terhadap profesi pustakawan.
"Pustakawan bukan hanya sekadar tendik yang bertugas klerikal menjaga dan memajang koleksi buku. Lebih dari itu, pustakawan ikut bertanggung jawab terhadap persebaran informasi yang benar dan utuh. Hasil-hasil riset dan informasi penting menjadi tugas utama pustakawan untuk menyebarkannya" ujar Rudi Santoso.
"Namun, tantangannya adalah minat masyarakat terhadap informasi tersebut sangat kurang. Mereka akan lebih nyaman mengamati media sosial dibandingkan dengan sumber aslinya. Untuk itu, salah satu inovasi pustakawan adalah mengembangkan informasi berbasis medsos,” katanya.
Minat baca mulai bergeser
Apalagi, ia melihat bahwa pola minat baca masyarakat kini berubah signifikan.
Mulai bergeser dari informasi yang mainstream ke arah informasi berbasis digital.
Namun, bahaya yang ditimbulkan dari informasi digital adalah hoaks atau informasi yang tidak benar.
"Terlebih perkembangan AI yang sangat pesat membuat masyarakat awam tidak mampu membedakan apakah informasi tersebut asli atau bukan. Dengan kata lain, literasi masyarakat kita masih rendah karena minat baca dari sumber informasi utama sangat rendah dan bergeser kepada informasi berbasis medsos,” tuturnya.
Meski begitu, Rudi Santoso tetap optimistis dan berharap pemerintah memberi perhatian lebih terhadap profesi pustakawan.
“Penghargaan profesi pustakawan yang adil. Artinya, jika ada sertifikasi dosen yang memberikan konsekuensi logis berupa Tunjangan Profesi Dosen, maka sudah saatnya ada Tunjangan Profesi Pustakawan bagi mereka yang sudah tersertifikasi,” pungkas pria yang juga berprofesi sebagai pendidik ini.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/09/15/154455978/12-tahun-mengabdi-pustakawan-tak-sekadar-menjaga-rak-buku