Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Harga Beras Mahal, Pangan Lokal Bisa Jadi Solusi

Kompas.com - 27/08/2025, 07:36 WIB
Suci Wulandari Putri Chaniago,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi

Sumber Kompas.com

KOMPAS.com - Lonjakan harga beras di pasaran membuat sebagian besar masyarakat resah. Padahal, Indonesia memiliki beragam sumber pangan lokal yang bisa diolah sebagai pengganti nasi. 

Dari jagung, pisang, hingga ubi, para ahli gizi dan chef sepakat bahwa kekayaan pangan ini bukan hanya mampu menjadi solusi di tengah mahalnya beras, tetapi juga menawarkan manfaat gizi yang tak kalah baik.

Seperti diberitakan Kompas.com (24/8/2025) Kompas.com mendapati pasokan beras menipis di pasar tradisional dan ritel modern Jakarta Selatan. Harga pun naik tajam. 

Di Superindo Mayestik, Kebayoran Baru, rak beras tampak kosong. Satu-satunya yang tersedia hanya merek Topi Koki, kemasan 5 kilogram, dijual Rp 140.790.

Baca juga: Cara Mengolah Sorgum ala Chef, Bahan Pangan Pengganti Beras

Namun, ironinya, pemerintah justru mengklaim stok beras nasional aman hingga akhir tahun.

Chef sekaligus SW & CO Hospitality Consultant, PT Suwanta Indonesia Maju, Suwanta mengatakan bahwa permasalahan krisis pangan di Indonesia bukanlah isu yang baru muncul kemarin sore.

Namun, sudah terjadi sebelum isu tingginya harga beras bermunculan seperti saat ini.

Merujuk kepada buku "Krisis Pangan: Sejarah, Penyebab, dan Jawaban Dunia" karya Andreas Maryoto (2019), krisis pangan pada dasarnya bukan hanya karena bencana alam, melainkan juga karena kesalahan pengelolaan dalam urusan pangan.

Demikian pula yang terjadi pada sejarah krisis pangan di Nusantara mulai dari Aceh, Mataram, dan Banten.

Melihat hal ini, chef hingga ahli gizi yang Kompas.com hubungi pada Selasa (26/8/2025) sepakat menilai bahwa masyarakat Indonesia, khususnya yang mendapatkan harga beras melambung dari biasanya, perlu melihat lebih luas bahwa pangan berupa karbohidrat di Indonesia tidak terbatas hanya berpatokan pada beras.

Baca juga: Beras Lagi Mahal, Ini Alternatif Penggantinya Menurut Chef dan Ahli Gizi

Menghadapi konsep ketergantungan pada beras

Ilustrasi nasi campur Gorontalo yang umumnya mencakup nasi putih atau nasi jagung, dengan aneka lauk.Dok. Wikimedia Commons/Fiqhi Rizky Ilustrasi nasi campur Gorontalo yang umumnya mencakup nasi putih atau nasi jagung, dengan aneka lauk.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memegang prinsip "belum disebut makan jika belum menyantap nasi". Padahal sejatinya, kebutuhan karbohidrat untuk tubuh tidak harus selalu dari nasi.

Chef yang berkutat di gastronomi Indonesia dan kerap mengangkat masakan Indonesia, Ragil Imam Wibowo, atau akrab disapa Chef Ragil mengatakan bahwa pada dasarnya Indonesia kaya akan pangan karbohidrat. Namun, sayangnya hampir sebagian besar masyarakat Indonesia terpaku pada beras.

"Itu adalah masalah bahasa marketing yang dipakai dari zaman dulu, bahwa orang Indonesia harus makan beras (nasi). Tidak begitu, orang Indonesia bisa makan sagu, makan singkong, bisa makan ubi, yang mana jauh lebih sehat daripada beras kalau secara gizinya," kata Ragil kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (26/8/2025).

Dosen Gizi di UIN Sunan Ampel Surabaya (UNISA) sekaligus Ketua Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) kota Surabaya Laili Rahmawati menuturkan, jika melihat kondisi pada zaman dahulu, apabila sudah masuk musim kemarau, bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat langsung beralih ke jagung ataupun singkong.

Baca juga: Jangan Asal Beli, Ini Ciri-Ciri Beras Oplosan dari Tampilan Luar

"Tapi saat ini kan orang itu jaim (malu) ya, kalau makanan pokok kita pindah dari beras ke yang lain itu identik dengan orang miskin. Nah, itu yang harus kita hilangkan, sebenarnya pangan lokal kita itu cukup banyak, terutama jenis ubi," kata Laili kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (26/8/2025).

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau