KAIRO, KOMPAS.com - Pejabat Mesir mengatakan pada Senin (18/8/2025) bahwa Hamas telah menyetujui proposal gencatan senjata 60 hari dengan Israel sekaligus pembebasan sandera.
Melansir Reuters pada Selasa (19/8/2025), pejabat senior Hamas, Basem Naim, mengonfirmasi persetujuan kelompoknya terhadap proposal itu di Facebook.
Hamas mengatakan faksi Palestina lain juga memberi tahu mediator mengenai persetujuan mereka.
Baca juga: Demo Israel: Ribuan Warga Tolak Perang Gaza, Netanyahu Dicemooh
Di lain sisi, tidak ada tanggapan langsung dari Israel atas proposal ini, tetapi seorang pejabat Israel mengonfirmasi bahwa proposal tersebut telah diterima pihaknya.
Proposal ini diajukan oleh Mesir dan Qatar, berdasarkan kerangka yang sebelumnya disampaikan utusan AS, Steve Witkoff, pada Juni.
Proposal tersebut menguraikan kerangka kesepakatan komprehensif yang memungkinkan penghentian operasi militer Israel selama 60 hari, sekaligus membuka jalur pembebasan sandera dan tahanan.
Seorang sumber yang mengetahui negosiasi mengatakan, proposal terbaru ini mirip dengan rencana yang sebelumnya diajukan Witkoff, dan diterima Israel.
Pada Minggu (17/8/2025), para mediator bertemu perwakilan Hamas di Kairo.
Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, bergabung pada Senin (18/8/2025) dan bertemu Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi serta perwakilan Hamas untuk membahas gencatan senjata dan pembebasan sandera.
Baca juga: Hamas Kaji Proposal Gencatan Senjata 60 Hari di Gaza
Dalam beberapa pekan terakhir, Israel telah menegaskan niatnya untuk mengambil alih kendali Kota Gaza di jantung wilayah Palestina.
Kegilaan pemerintah Israel ini menimbulkan kekhawatiran di luar negeri maupun di dalam negerinya.
Puluhan ribu warga Israel pada Minggu (17/8/2025) menggelar beberapa protes terbesar sejak perang dimulai, mendesak kesepakatan untuk mengakhiri perang di Gaza dan membebaskan 50 sandera yang masih ditahan sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Pejabat Israel meyakini 20 sandera di antaranya masih hidup.
Ribuan warga Palestina yang khawatir akan serangan darat Israel segera meninggalkan rumah mereka di wilayah timur Kota Gaza, yang kini berada di bawah gempuran terus-menerus Israel, menuju titik-titik di barat dan selatan di wilayah yang sudah hancur.
Pada Senin (18/8/2025), setidaknya sembilan tank dan buldoser Israel dilaporkan telah memasuki pinggiran Sabra di Kota Gaza.
Kepala Staf Angkatan Darat Israel, Letnan Jenderal Eyal Zamir, mengatakan negaranya berada pada titik balik dalam perang Gaza, "dengan fokus pada peningkatan serangan terhadap Hamas di Kota Gaza", kata juru bicara militer dalam sebuah pernyataan.
Dalam sebuah video, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan, “Dari laporan yang muncul di media, Anda bisa mendapatkan satu kesan, Hamas berada di bawah tekanan yang sangat besar.”
Netanyahu menggambarkan Kota Gaza sebagai benteng perkotaan terakhir Hamas.
Baca juga: Frustasi Nasib Sandera di Gaza, Ribuan Warga Israel Demo Tuntut Akhiri Perang
Dengan saat ini Israel sudah menguasai 75 persen Gaza, pihak internal mereka juga yang memperingatkan bahwa memperluas ofensif bisa membahayakan sandera yang masih hidup dan mendorong pasukan ke perang gerilya yang berkepanjangan dan mematikan.
Dani Miran, yang anaknya, Omri, ditahan Hamas sejak 7 Oktober 2023, mengatakan, “Saya takut anak saya akan terluka” akibat ofensif darat Israel.
Di Kota Gaza, banyak warga Palestina juga menyerukan protes untuk menuntut diakhirinya perang yang telah menghancurkan sebagian besar wilayah dan agar Hamas mempercepat negosiasi untuk mencegah ofensif darat Israel.
Mousa Obaid, warga Kota Gaza, menuturkan, “Saya menuju ke selatan untuk menenangkan kondisi mental saya. Tidak ingin terus berpindah-pindah tanpa henti. Kehidupan sangat sulit, harga tinggi, dan kami telah tanpa pekerjaan lebih dari satu setengah tahun.”
Ahmed Mheisen, pengelola tempat penampungan Palestina di Beit Lahiya, pinggiran Kota Gaza yang hancur akibat perang di bagian timur, mengatakan 995 keluarga telah meninggalkan daerah itu dalam beberapa hari terakhir menuju selatan.
“Saya menuju ke selatan karena saya perlu menenangkan kondisi mental saya,” kata Mousa Obaid, warga Kota Gaza.
"Saya tidak ingin terus berpindah-pindah tanpa henti. Tidak ada lagi kehidupan, dan seperti yang Anda lihat, kondisi hidup sangat sulit, harga tinggi, dan kami telah menganggur lebih dari satu setengah tahun," ratapnya.
Baca juga: Militer Israel Merelokasi Warga ke Gaza Selatan Hari Ini
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini