Dari sana, rudal itu akan meluncur turun dengan kecepatan luar biasa.
Tak seperti rudal-rudal balistik pada umumnya, yang meluncur dengan arah yang bisa diprediksi, kendaraan yang membawa rudal hipersonik dapat bergerak lebih tak menentu, lalu bermanuver saat sudah mengarah ke target.
Kedua, ada rudal jelajah hipersonik yang meluncur mendekati medan, tapi tetap berada di bawah radar supaya tidak terdeteksi.
Kedua rudal itu sama-sama diluncurkan menggunakan roket.
Saat sudah mencapai kecepatan hipersonik, sistem yang dikenal sebagai "mesin scramjet" kemudian aktif. Mesin itu menyedot udara saat terbang, mendorong rudal itu ke arah targetnya.
Rudal-rudal ini dikenal sebagai "senjata berfungsi ganda". Artinya, hulu ledaknya dapat berupa nuklir atau peledak tingkat tinggi konvensional.
Namun, rudal ini bukan hanya soal kecepatan.
Untuk dapat diklasifikasikan sebagai "hipersonik", rudal itu harus bisa bermanuver. Dengan kata lain, tentara yang menembakkan rudal itu harus bisa mengubah arahnya secara tiba-tiba ke arah yang tidak tertebak, sementara rudal itu sedang bergerak di kecepatan ekstrem.
Rudal itu pun akan sangat susah dicegat. Kebanyakan rudal berbasis darat tidak bisa mendeteksi rudal hipersonik hingga senjata itu sudah di detik-detik akhir penerbangan.
"Dengan terbang di bawah radar, rudal itu bisa menghindari deteksi awal dan baru muncul di sensor di akhir fase terbang, membuat kesempatan untuk mencegat rudal ini sangat terbatas," tutur Patrycja Bazylczyk, peneliti di Missile Defence Project di Centre for Strategic and International Studies di Washington DC, yang mendapatkan pendanaan dari pemerintahan AS dan perusahaan pertahanan.
Jawaban dari tantangan ini, kata dia, adalah memperkuat sensor-sensor luar angkasa negara-negara Barat, yang bisa mengatasi keterbatasan radar di darat.
Dalam skenario perang sesungguhnya, muncul pula pertanyaan mengkhawatirkan dari negara-negara yang menjadi target: apakah serangan itu menggunakan nuklir atau senjata konvensional?
"Hipersonik tidak banyak mengubah sifat perang, tapi mengubah kerangka waktu kapan kalian beroperasi," kata Tom Sharpe, seorang mantan Komandan Angkatan Laut Kerajaan Bersatu yang merupakan spesialis perang anti-udara.
"Kepentingan dasar untuk mendeteksi musuh, dan menembak mereka, lalu bermanuver agar bisa menembak target bergerak seperti ini sebenarnya tidak berbeda dari rudal-rudal sebelumnya, baik itu balistik, supersonik, atau subsonik."
"Langkah-langkah yang harus dilakukan target serangan untuk melacak atau menghancurkan rudal hipersonik juga sama seperti sebelumnya, tapi waktunya saja lebih sedikit."
Ada tanda-tanda teknologi ini meresahkan AS. Pada Februari lalu, Badan Riset Kongres AS merilis sebuah laporan yang salah satunya berisi peringatan.
"Pejabat-pejabat pertahanan AS menyatakan bahwa arsitektur sensor darat dan luar angkasa tidak cukup untuk mendeteksi dan melacak senjata-senjata hipersonik," demikian bunyi peringatan itu.
Namun, sejumlah pakar meyakini sebagian kehebohan soal hipersonik ini terlalu berlebihan.
Baca juga: Rusia Ancam Tembakkan Rudal Hipersonik ke Kyiv jika Ukraina Tetap Pakai ATACMS
Sidharth Kaushal dari lembaga kajian pertahanan Royal United Services Institute merupakan salah satu ahli yang menganggap rudal hipersonik bukan terobosan yang bisa mengubah peperangan.
"Kecepatan dan kemampuannya untuk bermanuver membuat rudal itu menarik jika melawan target-target berharga," kata Sharpe.
"Energi kinetiknya yang berpengaruh pada dampak serangan juga membuat senjata hipersonik berguna dalam menguburkan target, yang mungkin sulit dihancurkan dengan senjata konvensional sebelumnya."
Namun, kata Kaushal, walau senjata itu bisa meluncur lima kali lebih cepat dari kecepatan suara, ada beberapa cara untuk bertahan dari serangan hipersonik. Beberapa cara itu, ucapnya, "efektif".
Cara pertama yaitu membuat pihak yang meluncurkan rudal hipersonik lebih sulit melacak atau mengikuti target.
"Kapal-kapal dapat melakukan segala cara untuk melindungi diri," tuturnya.
"Citra satelit yang kabur dari satelit komersial juga hanya bertahan beberapa menit, kemudian tak bisa lagi dijadikan acuan untuk menentukan lokasi target."
"Mendapatkan satelit yang terkini dan akurat untuk mencapai target saat ini sangat sulit dan mahal."
Namun, ia memperingatkan bahwa kecerdasan buatan dan teknologi-teknologi lainnya mungkin bisa mengubah keadaan ini seiring waktu berjalan.
Baca juga: Houthi Yaman Serang Israel dengan Rudal Hipersonik
Bagaimanapun, faktanya Rusia dan China sudah "curi start" mengembangkan senjata hipersonik.
"Saya pikir program hipersonik China sangat menakjubkan dan mengkhawatirkan," ujar Freer.
Namun, ia juga berkata, "Jika bicara soal Rusia, kita mungkin harus lebih waspada terhadap klaim mereka."
Pada November 2024, Rusia meluncurkan rudal balistik jarak menengah eksperimental di salah satu situs industri di Dnipro, Ukraina, yang dipakai sebagai lokasi uji coba.