KOMPAS.com - Sejumlah petani yang tergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) berencana menggelar demonstrasi bertajuk "Hari Tani Nasional" di depan gerbang Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, pada Rabu (24/9/2025), pukul 10.00 WIB.
Menurut narahubung KPA, titik aksi akan difokuskan di gerbang utama Gedung DPR RI, dengan massa aksi yang sebelumnya berkumpul di Gerbang 10 Gelora Bung Karno (GBK) untuk kemudian melakukan long march menuju lokasi.
Diperkirakan, aksi ini akan melibatkan berbagai elemen, termasuk buruh, mahasiswa, masyarakat sipil, serta serikat petani dari wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Banten, hingga Cilacap, Jawa Tengah.
Para petani akan menyuarakan sembilan tuntutan yang terkait dengan dampak 65 tahun penerapan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, serta kritik terhadap agenda reforma agraria yang dianggap tidak berjalan dengan baik.
Baca juga: Sejarah Hari Tani Nasional yang Diperingati Setiap 24 September
Dalam aksi tersebut, KPA akan menuntut perbaikan atas 24 masalah struktural agraria yang muncul akibat implementasi UUPA 1960 selama lebih dari enam dekade.
"Melalui aksi ini, kami akan menyampaikan sembilan tuntutan perbaikan atas masalah agraria yang belum teratasi, serta menyuarakan agar reforma agraria yang belum berjalan optimal dapat diterapkan dengan lebih serius," ujar narahubung KPA.
Salah satu tuntutan utama dalam aksi ini adalah mendesak Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional yang lebih otoritatif.
KPA menilai bahwa Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dibentuk selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo gagal menjalankan reforma agraria.
Sekjen KPA, Dewi Kartika, menyebutkan bahwa ketimpangan penguasaan tanah semakin parah selama GTRA beroperasi.
Baca juga: Luas Sawah Turun Drastis, Massa Demo Hari Tani Tuntut Reforma Agraria
Dewi menambahkan, menurut data yang ada, satu persen kelompok elite menguasai 58 persen tanah, kekayaan alam, dan sumber produksi di Indonesia, sementara 99 persen penduduk harus berebut sisa lahan yang ada.
Kondisi ini semakin memperburuk ketimpangan ekonomi di sektor agraria. "Ketimpangan ini mengarah pada meningkatnya jumlah konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah," jelas Dewi.
Dilansir dari Tribunnews.com, data mencatat bahwa sepanjang periode 2015–2024, telah terjadi sekitar 3.234 kasus konflik agraria yang melibatkan luas lahan mencapai 7,4 juta hektar.
Konflik-konflik ini berdampak langsung pada 1,8 juta keluarga yang kehilangan tanah serta mata pencaharian mereka.
Dewi juga menyoroti bahwa proyek-proyek investasi besar seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), food estate, kawasan ekonomi khusus, hingga militerisasi pangan terus meluas ke wilayah desa dan kampung, yang menyebabkan lahan petani dan wilayah adat semakin tergerus.
Baca juga: Hari Tani Nasional 24 September, Ini Sejarah dan Latar Belakangnya
"Proyek-proyek besar ini merampas tanah petani dan wilayah adat, serta menutup akses mereka terhadap laut dan wilayah tangkapnya. Hal ini terjadi karena lahan sudah dikapling-kapling oleh pengusaha besar," ungkap Dewi.
KPA mengingatkan bahwa kegagalan reforma agraria yang terjadi dalam 10 tahun terakhir harus menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk segera bertindak.
"Berkaca pada kegagalan GTRA selama 10 tahun terakhir, kami mendesak Presiden Prabowo untuk segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional yang lebih otoritatif, yang berada langsung di bawah kendali Presiden," kata Dewi mengakhiri pernyataan.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Petani Bakal Demo Hari Tani di Gedung DPR Besok, Suarakan 9 Tuntutan dan sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Hari Tani Nasional, 12 Ribu Petani Berangkat ke Jakarta Tuntut Reformasi Agraria.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang