
APAKAH tiga hal yang menghancurkan manusia adalah harta, tahta, dan wanita? Sejak lama adagium itu berulang-ulang diperdengarkan di ruang-ruang budaya, dalam ceramah moral, hingga dalam wacana populer.
Ia seperti kalimat sakti yang dipakai untuk mengingatkan manusia akan kelemahan-kelemahan dasarnya.
Harta dianggap sebagai lambang dari ketamakan, tahta sebagai lambang dari nafsu kuasa, dan wanita sebagai simbol dari godaan sensual yang mampu menjatuhkan bahkan raja-raja terbesar.
Namun, bila kita menelisik lebih dalam, sesungguhnya tiga kata ini hanya representasi dari sesuatu yang lebih fundamental.
Harta tidak menghancurkan jika manusia mampu menata relasi dengan kekayaan sebagai sarana hidup bersama.
Tahta tidak niscaya menghancurkan jika kekuasaan dipahami sebagai pelayanan. Bahkan relasi dengan wanita, atau lebih luasnya seksualitas, tidak harus mematikan jiwa jika ditempatkan dalam horizon cinta yang otentik.
Baca juga: Flexing dan Cermin Masyarakat: Antara Validasi, Identitas, dan Krisis Kepercayaan
Yang menghancurkan manusia adalah sesuatu yang bekerja jauh lebih halus: ego yang membesar tanpa kendali, ambisi yang melampaui batas, dan mimpi yang kehilangan akar pada realitas.
Ketiganya bisa bersembunyi di balik harta, tahta, atau wanita, tetapi substansinya adalah dorongan batin yang menjerumuskan manusia pada kehancuran.
Tulisan ini berargumen bahwa sumber keretakan privat maupun publik bukanlah objek-objek eksternal, melainkan pembesaran dorongan batin yang salah arah.
Karena itu, perbaikannya mesti menyasar penataan dorongan tersebut dalam bingkai etika, pendidikan, kebudayaan, dan kepemimpinan yang bertanggung jawab.
Pertanyaan tentang apa yang menghancurkan manusia perlu diperluas menjadi pertanyaan tentang apa yang merusak relasi keluarga, komunitas, hingga masyarakat luas.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat wajah ego dalam bentuk yang beragam. Ego konsumtif muncul ketika manusia mengukur nilai dirinya dari apa yang dimiliki, bukan dari siapa dirinya.
Di ruang digital, ego tampak dalam obsesi citra diri: jumlah like, komentar, dan followers menjadi tolok ukur kebahagiaan semu. Banyak orang rela melakukan hal-hal ekstrem demi perhatian digital.
Ego juga hadir secara komunal. Fanatisme kelompok, baik dalam politik, agama, maupun budaya populer, membuat masyarakat terpecah.
Ego kelompok ini memandang yang lain sebagai musuh, bukan sebagai sesama warga yang bisa diajak berdialog. Akibatnya, relasi sosial melemah, dan kehidupan bersama kehilangan fondasi kepercayaannya.
Ego yang membesar di ruang keluarga juga menghasilkan keretakan. Banyak rumah tangga runtuh bukan karena faktor eksternal semata, melainkan karena ego yang tidak mau mengalah, tidak mau mendengarkan, dan tidak mau menerima keterbatasan.
Ego yang tidak terkendali mengubah cinta menjadi arena kuasa, mengubah pernikahan menjadi pertarungan, dan mengubah anak-anak menjadi korban luka batin.
Di masyarakat luas, ego yang menuntut pengakuan membuat kompetisi kecil berubah menjadi konflik besar. Mulai dari perebutan warisan, persaingan antarusaha, hingga perbedaan pandangan dalam organisasi, semua bisa pecah hanya karena ego tidak mampu ditata.
Ambisi, di sisi lain, adalah energi yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Ambisi terlalu kecil membuat manusia kerdil, tetapi ambisi terlalu besar menjadikannya rakus dan tiran.
Budaya modern mendorong ambisi yang berlebihan dengan menjanjikan kesuksesan instan. Banyak anak muda dibentuk oleh narasi bahwa hidup harus viral, sukses cepat, kaya mendadak, meski tanpa proses panjang.
Narasi ini menghasilkan generasi yang mudah lelah, mudah putus asa, dan mudah terbakar habis. Burnout menjadi fenomena sosial, bukan lagi sekadar istilah psikologi.
Aristoteles pernah menegaskan bahwa kebajikan adalah jalan tengah, mesotes, antara dua ekstrem. Ambisi yang sehat adalah dorongan untuk tumbuh, mengembangkan bakat, dan berkontribusi bagi orang lain.
Baca juga: Kemiskinan Karakter di Tengah Agenda Kesejahteraan Sosial
Namun, ambisi yang tidak terkendali membuat manusia mengejar status tanpa memperhatikan etika.
Nietzsche menekankan bahwa hidup adalah kehendak untuk berkuasa, will to power. Dalam arti tertentu, ini adalah vitalitas yang membuat manusia berani melampaui dirinya.
Namun pembacaan dangkal terhadap Nietzsche justru sering memberi legitimasi bagi mentalitas tirani, baik dalam skala pribadi maupun sosial.
Ambisi dalam masyarakat kita hadir dalam wajah ekonomi yang kompetitif. Banyak orang bekerja bukan lagi untuk mencari nafkah, melainkan untuk menundukkan pesaing.