DENPASAR, KOMPAS.com - Masyarakat Adat dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Bali, mendesak pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat.
Sampai saat ini disebut belum ada kerangka hukum nasional yang benar-benar mampu memberikan perlindungan atas hak kolektif masyarakat adat.
Bali telah memiliki Peraturan Daerah tentang Desa Adat No.4 tahun 2019 dan UU No. 3 tahun 2014 pengganti UU No.6 tahun 2014 tentang Desa yang mengatur eksistensi Masyarakat Adat di Bali. Namun semua itu dinilai belum cukup.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Women Crisis Centre (WCC), Ni Nengah Budawati menyebut sesungguhnya tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan dan ditakuti dengan disahkannya RUU Masyarakat Adat.
Tujuan luhurnya adalah demi keberlanjutan dan kebertahanan lingkungan ke depannya.
Baca juga: Parta Ungkap Alasan Mengapa RUU Masyarakat Adat Lama Tak Disahkan
"Apalagi di Bali, yang setiap jengkal tanah memiliki ruh dan sangat disucikan. Ini demi merawat tanah leluhur. Apabila terjadi sesuatu, pastilah akan sangat berdampak pada perempuan, pada masyarakat adat," ujar Budawati, Jumat (31/10/2025).
Menurutnya, mungkin ketakutan pihak tertentu jika RUU ini disahkan adalah terkait kepentingan investor.
Tapi jika Masyarakat Adat diakui dan dilindungi, begitu pula dengan tanah ulayat, dia menilai justru akan lebih jelas segala batas-batasnya dan dapat menekan konflik antara investor dan masyarakat adat.
Tanpa UU Masyarakat Adat, diyakini posisi adat di Bali akan masih bergantung pada intervensi pemerintah daerah yang seringkali kalah dengan kepentingan investasi pariwisata.
Termasuk proyek strategis nasional yang tidak memperhatikan nilai-nilai ekologis dan budaya Bali.
Budawati yang juga tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, menyampaikan enam tuntutan yang dideklarasikan di Denpasar pada Kamis (30/10/2025).
Pertama mendesak pimpinan DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat.
Baca juga: RUU Masyarakat Adat: Mengembalikan Nurani Negara
Kedua, mengakui masyarakat adat sebagai subjek hukum dan menjamin ruang hidup Masyarakat Adat dalam tata ulang pembangunan agar pembangunan tidak lagi mengabaikan hak-hak adat atas tanah, air, dan budaya.
Ketiga, RUU Masyarakat Adat memberikan pengakuan substantif atas pengetahuan, wilayah, kak dengan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) atau persetujuan atas dasar informasi lengkap di awal tanpa paksaan.
Keempat, mengakui hak kolektif perempuan adat dalam merawat ritual, menjaga, memelihara adat dan budaya serta alam sebagai sumber kehidupan.