
DI BANYAK kota Indonesia, kita menyaksikan paradoks yang aneh: generasi paling terdidik dan paling digital dalam sejarah justru bertahan erat pada pekerjaan pertama yang mereka peroleh. Alih-alih berpindah mencari yang “lebih cocok”, mereka memilih memeluk rapat posisi yang ada—job hugging.
Ini bukan soal malas atau kurang ambisi; ini strategi bertahan hidup di pasar kerja yang sempit, fluktuatif, dan makin berisiko bagi pendatang baru.
Job hugging merupakan realitas sosial yang muncul karena adanya kecenderungan pekerja muda—khususnya Gen-Z—untuk mempertahankan pekerjaan yang sudah didapat, apapun dinamikanya, meski tak ideal dengan latar pendidikan atau passion. Alasannya sederhana: mereka memperkirakan probabilitas kehilangan lebih besar daripada kepastian mendapat yang lebih baik.
Di sisi lain, mereka juga menghitung ongkos menganggur—finansial, psikologis, dan sosial—lebih besar selain akan jadi beban tersendiri. Jika dikaji lagi secara struktural, terdapat tiga pendorong utama:
Pertama, Pengangguran muda yang tinggi. Menurut BPS, pada 2024, tingkat pengangguran terbuka usia 20–24 tahun masih 15,34%, dan usia 15–19 tahun bahkan 22,34%—jauh di atas rata-rata nasional. Maka data itu memungkinkan bagi yang baru lulus, kalkulasi risikonya jelas akan menggengam yang sudah di tangan lebih aman daripada spekulasi di lapangan.
Kedua, Dominasi kerja informal pada usia muda. Secara global, ILO memperkirakan sekitar 66% pekerja berada dalam pekerjaan informal pada 2023. Akses data yang mudah ini kemudian menyentuh rasionalitas Gen-Z bahwa ketidakpastian akhirnya mendorong pilihan lebih baik untuk bertahan.
Ketiga, “Ruang tunggu” yang melebar. Merujuk ke estimasi ILO (2023) pangsa pemuda 15–24 yang tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tidak pelatihan (NEET/ Not in Education, Employment, or Training) masih di kisaran ~21%, menandakan transisi sekolah-kerja yang macet.
Baca juga: Apa Itu Quiet Covering yang Jadi Kebiasaan Gen Z di Tempat Kerja?
Sebagian besar Gen-Z Indonesia tumbuh dalam budaya rumah tangga nondigital namun bekerja di ekosistem kerja yang sepenuhnya digital. Di sini terjadi gap atau ketidaksinkronan antara harapan vs realitas.
Di kampus, kurikulum masih sering linear mulai dari penjurusan sampai struktur keilmuan. Sementara di pasar, permintaan kerja menuntut kemampuan multi-peran dan ketahanan pendapatan (freelance, target, shift). Hasilnya pun terkonfirmasi. Gen-Z banyak yang menggelimang pada pekerjaan yang tidak sesuai jurusan, yang kemudian memeluknya sambil merakit keterampilan baru on the job.
Sementara pada saat yang sama, pintu masuk ke kerja formal—kontrak tetap, jaminan sosial—lebih sempit karena pemburu kerja semakin kompetitif.
Secara sosiologis, job hugging bukan regresi; ini kecerdasan adaptif yang ditampilkan oleh Gen-Z dalam mengelola tantangan kehidupannya. Ia adalah kompromi yang menjaga arus kas, ritme hidup, dan martabat sosial, sambil mengurangi volatilitas.
Dalam kacamata path-dependence, jejak awal—network, supervisor, kompetensi spesifik—sering lebih berharga daripada “lompatan buta” ke tempat baru tanpa jaminan. Di negara dengan informalitas tinggi dan pengangguran muda di atas dua digit, pilihan yang tampak “aman” justru bisa menjadi platform mobilitas—asal disertai strategi peningkatan kapasitas.
Baca juga: 6 Nasihat Keuangan dari Warren Buffett untuk Gen Z, Apa Saja?
Menutup pembahasan ini, beberapa hal bisa disarankan antara lain: untuk Gen-Z di level strategi mikro, jadikan kerjaan kini sebagai laboratorium keterampilan. Targetkan peningkatan satu level competency tiap 6–9 bulan (misalnya dari frontline ke shift lead, dari content ops ke content analyst).
Konsekwensinya, pemberi pekerjaan pun harus mendesain kerangka kerja yang disediakan untuk mereka, yang memiliki fleksibilitas tinggi pada dinamika Gen-Z itu sendiri. Sehingga jika terjadi sesuatu terhadap kedua belah pihak, tidak harus menghasilkan turbulensi sosial dan manajemen.
Selanjutnya untuk Gen-Z bangun portofolio bukti kerja (angka omzet, efisiensi, NPS, defect rate) agar “pelukan” berubah menjadi tuas tawar—baik untuk promosi internal maupun loncatan eksternal yang terukur. Kemudian jika sudah terbaca arahnya, amankan fondasi formal sedini mungkin (BPJS Ketenagakerjaan/Kesehatan, kontrak jelas); jika tetap informal, negosiasikan struktur insentif dan pelatihan.
Tentu saja, tanpa defisit atensi, kita juga menemukan bahwa Gen-Z tidak kekurangan ambisi. Bahkan entitas ini tengah membangun cerita bahwa mereka merupakan sebuah kaum yang sedang berproses mengoptimalkan peluang dalam batasan struktural.
Dalam lanskap kerja yang berisiko tinggi—pengangguran muda masih dua digit, informalitas dominan—memeluk pekerjaan adalah “rasionalitas baru”. Di mana pilihan ini sudah melalui proses seleksi ritual kehidupan manusia. Gen-Z harus diposisikan memiliki kecermatan mendalam atas aktivitas pekerjaannya, meski tetap butuh “pendamping” dari yang dewasa.
Maka tugas kita bukan menertawakan “generasi tanpa pilihan”, melainkan menambah pilihan: memformalkan peran-peran pemula, mempercepat transisi skill, dan menghadirkan jalur karier yang jelas. Jika itu dilakukan, job hugging bukan tanda menyerah, melainkan batu loncatan menuju mobilitas yang lebih adil—bagi pekerja muda, perusahaan, dan ekonomi Indonesia.
Baca juga: Gen Z Rentan Menganggur, Lulusan SMA-SMK Mendominasi
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang