Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Psikologi ke Pastry, Kisah Dua Bersaudara di Balik Croissant Rumahan di Surabaya

Kompas.com - 29/08/2025, 12:58 WIB
Suci Rahayu,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi

SURABAYA, KOMPAS.com - Di sebuah rumah di kawasan Klampis Indah IX Surabaya Jawa Timur, aroma mentega panggang menyambut siapa saja yang melangkah masuk.

Di sana, berdiri Azyan Pastry, toko mungil dengan etalase penuh pastry berlapis renyah yang menarik mata dengan suasana yang homie.

Para pelanggan mulai berdatangan untuk menikmati pastry yang dibuat dengan sepenuh hati oleh Aditya Renaldi dan sang adik, Rangga Putra Prakasa yang memegang kendali manajemen toko.

Awal Mula Dari Pie Asin ke Croissant

Awalnya Aditya Renaldi tidak ditakdirkan untuk berdiri di balik meja adonan. Ia menempuh pendidikan psikologi di Universitas Surabaya, sebuah jalur yang sama sekali jauh dari dunia pastry.

Baca juga: 3 Tips Makan Dessert agar Tidak Cepat Enek, Saran dari Pastry Chef

Namun, setelah menuntaskan kuliahnya, ia melanjutkan pendidikan kuliner dan mengikuti berbagai pelatihan pastry.

Minat awalnya tertuju pada pie asin, produk pertama yang juga dijual secara online. Kemudian seiring waktu, ia menemukan daya tarik pastry lain yaitu croissant. Baginya, croissant bukan sekadar roti berlapis, melainkan seni yang penuh teknik dan ilmiah.

“Awalnya saya hanya suka masak. Kami memulai dengan menjual pie asin secara online. Tapi lama-lama saya jatuh cinta dengan pastry, terutama croissant, cake, dan cokelat,” kata pria yang biasa disapa Adit saat ditemui wartawan.

“Apalagi croissant itu scientific sekali. Ada guideline dan requirement yang harus dipenuhi. Orang yang suka meneliti harusnya cocok belajar ini,” imbuhnya.

Azyan Pasrty salah satu kuliner yang ada di Kota Surabaya. KOMPAS.COM/SUCI RAHAYU Azyan Pasrty salah satu kuliner yang ada di Kota Surabaya.
Sebab proses yang dijalani tidak instan, memerlukan dua hingga tiga tahun ia habiskan untuk memahami “do and don’t” dalam membuat croissant.

Dari menggunakan oven sederhana hingga akhirnya memakai mesin laminasi, perjalanan itu penuh eksperimen. Short course yang diikuti menambah wawasan, tetapi baginya, yang paling penting bukan hanya teknik, melainkan filosofi yang dibuatnya.

“Ketika belajar memasak atau baking, yang paling penting nilai filosofinya. Croissant di luar negeri itu dijunjung tinggi, bukan sekadar makanan, tapi tradisi yang harus dihormati,” ujar Aditya Renaldi.

Lebih dari Sekadar Menjual dan Identitas

Untuk itu, ia menaruh perhatian besar pada sejarah dan nilai budaya yang melekat pada pastry. Ia bercerita bagaimana croissant awalnya berbentuk bulan sabit, sebagai penghargaan bagi pembuat roti yang bekerja dari malam hingga subuh.

Dari sana, budaya Perancis menambahkan teknik laminasi, hingga lahirlah croissant seperti yang dikenal sekarang.

Baca juga: 6 Tips Membuat Adonan Pastry Lembaran agar Tidak Keras

Untuk itu ia kagum bagaimana negara-negara Asia, seperti Jepang, Korea, dan Malaysia, berhasil mengakulturasi budaya kuliner Eropa.

Sehingga hal ini yang harus dituju Indonesia, tidak berhenti pada mencontoh. Tetapi mengolah dengan jiwa, seperti Jepang yang bisa membuat sesuatu sederhana menjadi karya dengan identitas khas.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau