
SEBENARNYA, kita tidak perlu alergi dengan komparasi. Dalam kebijakan publik, perbandingan antarnegara adalah praktik lazim untuk memahami posisi relatif kita dalam dinamika global. \
Sayangnya, di Indonesia, komparasi masih sering disalahartikan sebagai penghinaan, terutama jika objek perbandingannya adalah negara-negara Afrika.
Padahal, justru dari komparasi itulah kita bisa menemukan pelajaran berharga dan arah perbaikan.
Bahkan dalam isu-isu kemanusiaan sekalipun, kita bisa belajar dari pengalaman negara-negara Afrika.
Belajar itu bukan soal melihat ke atas atau ke bawah, tetapi soal kesiapan untuk mengambil pelajaran—baik yang bisa diadopsi, maupun yang perlu dihindari sebagai cermin.
Merunut sejarah, Indonesia justru pernah menjadi pelopor dalam membangun solidaritas Global South bersama negara-negara Afrika melalui Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955.
Dalam forum itulah semangat kesetaraan, kemandirian, dan pembelajaran antarbangsa berkembang, jauh dari kompleks inferioritas atau superioritas.
Maka membandingkan diri dengan Afrika bukanlah hal baru atau tabu, tetapi kelanjutan dari semangat yang dulu pernah kita pelopori sendiri: belajar dan tumbuh bersama dalam solidaritas postkolonial.
Baca juga: Kemiskinan Gagasan dalam Pengentasan Kemiskinan
Dalam beberapa hari terakhir, publik nasional dibuat gaduh oleh kabar pencopotan Olvy Andrianita dari jabatannya sebagai Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan.
Isu yang mencuat adalah bahwa pencopotan ini diduga berkaitan dengan pernyataannya dalam forum peluncuran laporan di CSIS Jakarta, di mana ia menyatakan bahwa Indonesia tertinggal dari beberapa negara Afrika dalam merespons dinamika global.
Bila benar demikian, maka ini bukan hanya mengkhawatirkan dari sisi kebebasan akademik dan diskursus kebijakan, tetapi juga menunjukkan rendahnya ketahanan emosional dan intelektual sebagian pengambil kebijakan terhadap kritik berbasis komparasi.
Indonesia adalah negara dengan banyak keunggulan, tetapi juga tidak luput dari berbagai kelemahan struktural dan kebijakan yang menghambat kemajuan.
Dalam situasi seperti ini, membandingkan—secara objektif dan berimbang, dengan negara-negara lain, termasuk negara-negara di Afrika, adalah metode yang sah dan perlu dalam proses evaluasi kebijakan.
Tidak semua negara Afrika tertinggal dari Indonesia, dan dalam beberapa aspek, beberapa negara Afrika justru sudah lebih progresif dan responsif dalam menjawab tantangan global.
Salah satu area di mana beberapa negara Afrika menunjukkan keunggulan adalah dalam pemanfaatan teknologi digital untuk inklusi keuangan.