JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, memperkirakan lebih dari 100.000 ton beras impor Bulog berpotensi berubah status menjadi disposal atau tidak layak konsumsi masyarakat di tahun ini.
Adapun nilai kerugiannya ditaksir mencapai Rp 1,2 triliun.
Ia mencatat, stok beras impor yang masih tersisa di gudang Bulog jumlahnya cukup besar atau sekitar 1,7 juta hingga 1,9 juta ton. Beras ini merupakan sisa impor tahun lalu yang masuk ke Indonesia pada Februari.
Baca juga: DPR Sebut HET Beras Harus Lindungi Petani dan Konsumen Sekaligus
Jika dihitung sejak masa penyimpanan di negara asal sebelum dikirim ke Indonesia, usia beras tersebut bisa mencapai hampir 2 tahun.
Menurut Dwi, beras dengan usia simpan selama itu sudah sangat tidak layak untuk dikonsumsi manusia.
Walaupun dari sisi tampilan fisik mungkin masih terlihat bagus, terutama karena kategori premium dengan kadar broken di bawah 5 persen, tetapi kualitas rasa dan mutunya pasti sudah menurun drastis.
“(Itu beras yang ada di Bulog?) Ya kan ada yang dari sisa impor aja kan 1,7 juta sampai 1,9 juta ton. Pokoknya sekitar itulah yang sisa impor tahun lalu. Dan sisa impor tahun lalu itu kan beras masuk ke Indonesia di Februari 2024. Itu pun sudah lebih dari 1 tahun kan,” ujar Dwi saat ditemui di gedung Ombudsman RI, Selasa (26/8/2025).
Baca juga: Warga Papua dan Maluku Bayar Beras Paling Mahal, Bapanas: Karena Geografis dan Transportasi
“Belum lagi ketika dia berada di negara yang sebelum diekspor ke Indonesia, bisa-bisa jadi hampir 2 tahun. Dan 2 tahun itu sudah sangat tidak layak sebenarnya dikonsumsi,” paparnya.
Istilah disposal dalam beras merujuk pada kondisi ketika beras tidak bisa lagi digunakan sesuai fungsi awalnya, yaitu bahan pangan untuk konsumsi manusia.
Itu karena kualitas beras terlalu buruk sehingga tidak layak dikonsumsi.
Baca juga: HET Baru Beras Resmi Berlaku, Rencana Satu Harga Batal?
Akan tetapi, penggunaan untuk pakan pun tidak bisa sembarangan, karena ada syarat ketat. Salah satunya, beras harus dipastikan tidak terkontaminasi aflatoksin atau zat berbahaya lainnya.
Jika sudah tercemar, maka beras tersebut tidak boleh digunakan bahkan untuk pakan sekalipun.
Alternatif lain, beras disposal dapat diproses menjadi bahan baku industri etanol. Hanya saja, di Indonesia industri etanol berbasis beras masih sangat jarang.
Dengan kata lain, disposal menunjukkan bahwa beras tersebut sudah tidak memiliki nilai ekonomis sebagai pangan, dan hanya bisa digunakan untuk fungsi alternatif yang sangat terbatas, bahkan berisiko tidak terpakai sama sekali jika kualitasnya terlalu buruk.
Baca juga: Pakai Jurus Ini, Bapanas Jamin Harga Beras Kembali Normal Dalam Waktu Dekat
“Lalu alternatif lainnya beras tersebut digunakan untuk bahan baku, etanol misalnya. Jadi itu, jadi dalam arti disposal itu beras tersebut tidak bisa lagi digunakan sesuai dengan tujuan semula,” ucap Dwi.
“Kalau tercemar aflatoksin enggak bisa digunakan untuk pakan juga. Sehingga satu-satunya yang bisa digunakan untuk industri etanol. Industri etanol di Indonesia yang berbahan baku beras sangat-sangat jarang,” lanjutnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini