
PASCA-pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang BUMN, babak baru dalam sejarah korporasi milik negara resmi dimulai.
Fenomena yang sebelumnya hanya menjadi wacana di forum-forum diskusi kini menjelma menjadi kenyataan: warga negara asing (WNA) duduk di jajaran direksi BUMN.
Salah satu sorotan utama jatuh pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, maskapai kebanggaan nasional yang mencatat sejarah sebagai BUMN pertama yang menempatkan profesional asing di kursi direksi, tepat setelah RUPSLB pada 15 Oktober 2025.
Dua tenaga ahli internasional, Balagopal Kunduvara sebagai Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko, serta Neil Raymond Mills sebagai Direktur Transformasi, resmi memegang kendali pada posisi strategis yang sangat menentukan masa depan perusahaan.
Kehadiran mereka bukan sekadar simbol globalisasi. Mereka adalah penjaga arah transformasi digital, pengelolaan risiko, dan strategi keuangan.
Keputusan ini menandai langkah strategis yang diharapkan mampu membawa Garuda Indonesia ke level kompetensi global, sekaligus mempercepat modernisasi manajemen dan transformasi digital yang telah lama tertunda.
Namun, keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan serius di publik. Di satu sisi, kehadiran tenaga ahli global dipandang sebagai upaya meningkatkan daya saing, efisiensi, dan tata kelola risiko kelas dunia.
Baca juga: Dua WNA Direksi Garuda: Menyoal Nasionalisme di Ruang Direksi BUMN
Di sisi lain, masyarakat mempertanyakan: apakah talenta lokal dianggap belum cukup mumpuni?
Apakah langkah ini secara tidak langsung menggerus kedaulatan sumber daya manusia nasional dan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap kemampuan SDM Indonesia?
Fenomena ini menjadi simbol dilema klasik antara modernisasi versus kedaulatan, peluang versus risiko, dan profesionalisme versus nasionalisme.
Keputusan berani ini bukan hanya titik tolak bagi BUMN lain, tetapi juga menjadi panggilan refleksi bagi bangsa: sejauh mana kita benar-benar memercayai potensi putra-putri bangsa sendiri?
Penunjukan WNA sebagai eksekutif BUMN sebenarnya bukan hal baru di dunia. Di banyak negara, praktik ini telah berkembang sebagai strategi untuk mendukung transformasi perusahaan, transfer pengetahuan, dan peningkatan daya saing global.
Benchmark global menunjukkan pola umum: penempatan WNA di BUMN biasanya bersifat strategis, terbatas, dan sering kali hanya sebagai advisor atau project leader, bukan sebagai direksi penuh.
Tujuannya jelas: transfer knowledge, transformasi organisasi, dan penguatan kapasitas SDM lokal. Praktik ini menekankan meritokrasi dan transparansi sebagai syarat agar publik tetap percaya.
Contohnya, Singapore Airlines dan Temasek Holdings secara konsisten menempatkan WNA pada posisi eksekutif, khususnya untuk bidang teknis dan manajerial, ketika keterampilan lokal belum mencukupi.
Namun, pengangkatan ini tetap dikontrol ketat oleh pemegang saham pemerintah. Model ini terbukti meningkatkan kompetensi manajerial dan akses praktik global, sambil tetap mempertahankan kepercayaan publik melalui sistem berbasis merit.
Di India, BUMN besar seperti ONGC dan GAIL menggunakan WNA sebagai CEO atau konsultan senior untuk proyek transformasi dan ekspansi internasional. Fokus utamanya adalah transfer knowledge dan pengalaman global.
Meskipun kadang muncul skeptisisme dari publik atau serikat pekerja, mitigasi dilakukan melalui kontrak terbatas dan program mentoring agar kemampuan talenta lokal meningkat secara berkelanjutan.
BUMN di Jepang dan China pun cenderung menempatkan WNA sebagai konsultan, advisor, atau project leader, bukan direksi penuh.
Tujuannya jelas: memperkuat transformasi teknologi, strategi global, dan manajemen proyek khusus, tanpa mengorbankan kedaulatan perusahaan dan budaya kerja lokal, sambil tetap memanfaatkan kompetensi global.
Baca juga: Impor Bos Asing: BUMN World Class atau World Loss?
Setelah meninjau praktik naturalisasi direksi BUMN di berbagai negara, terlihat pola yang konsisten. Di Singapura, Jepang, China, dan India, penempatan eksekutif asing biasanya bersifat strategis dan terbatas, lebih sering sebagai advisor atau project leader daripada direksi penuh.
Tujuannya jelas: melakukan transfer pengetahuan, memperkuat kapasitas SDM lokal, dan mendorong transformasi organisasi, sambil menjaga prinsip meritokrasi dan transparansi.
Model ini juga dilengkapi dengan kontrak terbatas dan program mentoring agar talenta lokal benar-benar berkembang.
Di Indonesia, praktik yang diterapkan berbeda. Setelah disahkannya UU No. 16 Tahun 2025, WNA langsung ditempatkan pada posisi direksi penuh di BUMN, bukan sekadar sebagai penasihat atau pemimpin proyek khusus.