
PENGANGKATAN dua warga negara asing sebagai direksi PT Garuda Indonesia pascadisahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memantik perdebatan publik.
Bukan sekadar persoalan nasionalisme versus profesionalisme, diskursus ini adalah buah dari ambiguitas dalam memutuskan apakah BUMN masih merupakan bagian integral dari rezim keuangan negara atau telah benar-benar menjadi entitas korporasi murni?
Sejak reformasi, Indonesia sudah mengalami dilema konseptual dalam memosisikan BUMN.
Di satu sisi, tekanan efisiensi dan daya saing menuntut BUMN beroperasi layaknya korporasi swasta yang profesional.
Di sisi lain, karakteristik aset dan kepemilikan negara membuat BUMN tersandera pada prinsip pengelolaan keuangan negara dan akuntabilitas publik.
Pasal 4B juncto Pasal 9G UU Nomor 16 Tahun 2025 mencoba untuk mempertegas status quo BUMN sebagai entitas bisnis yang terlepas dari patron keuangan negara dengan menetapkan kerugian BUMN tidak termasuk kerugian negara.
Selanjutnya Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Baca juga: Menyelamatkan Kepak Garuda Indonesia dengan Kearifan Jepang
Namun di saat bersamaan, Pasal 15A ayat (1) huruf a masih mensyaratkan bahwa direksi persero "harus Warga Negara Indonesia"—sebuah ketentuan yang secara implisit mengakui bahwa posisi direksi BUMN memiliki kepentingan strategis kebangsaan.
Jika negara menghendaki BUMN keluar sepenuhnya dari rezim keuangan negara, maka konsekuensi logisnya adalah: direksi tidak lagi memiliki kewajiban menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), tidak tunduk pada pengawasan KPK dalam konteks pejabat negara, dan pengelolaan BUMN sepenuhnya mengikuti ketentuan UU Perseroan Terbatas dengan prinsip business judgment rule.
Dalam skenario ini, tidak ada halangan substansial bagi warga negara asing untuk memimpin BUMN, sebagaimana lazimnya dalam korporasi swasta multinasional.
Sebaliknya, jika BUMN masih dipandang sebagai instrumen keuangan negara dengan aset yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, maka pengangkatan direksi asing menjadi problematis secara konstitusional.
Bagaimana mungkin seseorang yang bukan warga negara—dan tidak memiliki ikatan konstitusional dengan negara Republik Indonesia—diberi mandat mengelola aset strategis bangsa?
Bagaimana pula mekanisme akuntabilitas dan pengawasan dapat dijalankan jika direksi asing tersebut tidak terikat pada kewajiban administratif hukum keuangan negara?
Menariknya kemudian Pasal 15A ayat (3) memberikan klausul delegasi yang kontroversial, yakni "Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat ditentukan lain oleh BP BUMN."
Rumusan ini menciptakan celah hukum yang memungkinkan Badan Pengaturan BUMN dalam hal ini Danantara untuk mengintervensi bangunan regulasi terkait persyaratan menjadi pemegang kendali BUMN.