BOGOR, KOMPAS.com - Upaya pemerintah mengejar target swasembada gula pada 2026 memicu persoalan baru di lapangan. Perluasan lahan tebu yang terus dilakukan menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat.
Peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) Danang Permadi mengatakan, dorongan swasembada membuat permintaan lahan baru meningkat pesat.
Pemerintah kini membuka area tanam di wilayah Perhutani dan kawasan hutan.
Baca juga: Petani Tebu Dukung Program BBM E10, Minta Jaminan Pasar Etanol dan Gula
Tanaman tebu mendominasi lahan perbukitan di kawasan hutan yang gundul di wilayah Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar, Kamis (3/8/2023)Namun, langkah ekstensifikasi luas lahan justru kerap kali berbenturan dengan warga yang sudah lama menggarap lahan tersebut.
“Dalam program perluasan atau ekstensifikasi luas lahan tebu ini di lapang memang banyak hambatannya Bapak-Ibu. Khususnya terkait konflik di wilayah hutan ini juga masih sering terjadi,” ujar Danang saat sesi diskusi panel terkait outlook komoditas perkebunan yang digelar di Gedung Riset Perkebunan Nusantara, Bogor, Jawa Barat, Selasa (28/10/2025).
Danang mengakui dalam pengalamannya mengawal program perluasan lahan tebu di kawasan perhutani, sering kali terjadi benturan dengan masyarakat atau petani yang mengelola hutan negara (pesanggem).
Karena itu, perlu langkah mitigasi sosial agar program perluasan berjalan tanpa konflik.
Baca juga: Anomali Regulasi dan Krisis Integrasi Industri Gula Nasional
Menurutnya, pemerintah dan pengelola lahan harus mampu membangun sinergi dengan masyarakat sekitar melalui pendekatan sosial yang tepat, sehingga proses ekstensifikasi tidak menimbulkan ketegangan di lapangan.
“Beberapa pengalaman saya begitu ya mengawal kesesuaian lahan untuk ekstensifikasi lahan tebu di kawasan perhutani itu juga sering terjadi mengalami banyak sekali benturan dengan masyarakat atau pesanggem di kawasan hutan,” paparnya.